Senin, 12 November 2012

Masdar dan Lafadz Yang Mustaq Dari Masdar

Sobat khoir, sebelumnya kami telah posting artikel tentang Ilmu Shorof, yaitu Fi’il Ruba’i Mazid dan ruang lingkupnya. Berikut ini ilmu sorof. Bab Kelima yaitu Masdar dan Lafadz Yang Mustaq Dari Masdar. Harapan kami semoga bab ini dapat mempermudah pemahaman kami dan juga bagi pembaca semua. Namun sebelumnya kami mohon maaf bila dalam penyusunannya masih terdapat banyak kekurangan, karena kami juga masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan.

PEMBAHASAN
A.     Masdar
اَلْمَصْدَرُ هُوَ الدَّالُ عَلَى الْحَدَثِ مُجَرَداً عَنِ الزَّمَانِ مُتَضَمَناً اَحْرُفَ فِعْلِهِ
Artinya: “Masdar yaitu lafadz yang menunjukkan makna hadats tanpa disertai zaman yang memuat semua huruf fi’ilnya.”
Sedangkan yang dimaksud hadatz ialah: الْمَعْنَى الْقَائِمُ بِالْغَيْرِ, yaitu sesuatu yang melekat pada perkara lain, bisa pekerjaan atau yang lain.

B.      Pembagian masdar
وَمَصْدَرٌ أَتَى عَلَى ضَرْبَيْنِ *  مِيْمِى وَغَيْرِهِ عَلَى قِسْمَيْنِ
مِنْ ذِى الثَّلاَثِ فَالْزَمِ الَّذِى سُمِعْ *  وَمَا عَدَاهُ فَالْقِيَاسَ تَتَّبِعْ
Artinya: “Masdar itu terbagi menjadi dua, pertama masdar mim dan kedua masdar ghoiru mim dan masdar ghoiru mim dibagi menjadi dua lagi.”
1.      Masdar mim
اَلْمَصْدَرُ الْمِيْمِ هُوَ مَا كَانَ فِي اَوَلِهِ مِيْمُ زَائِدَةٍ
Artinya: “Masdar mim ialah lafadz (masdar) yang pada permulaannya terdapat huruf mim tambahan (selain mim yang ada pada lafadz yang mengikuti wazan مَفَاعَلَةً).”
مِيْمِى الثُّلاَثِى اِنْ يَكُنْ مِنْ اَجْوَفِ * صَحِيْحٍ اَوْ مَهْمُوْزٍ اَوْ مُضَعَّفِ
اَتَى كَمَفْعَلٍ بِفَتْحَتَيْنِ * وَشَذَّ مِنْهُ مَا بِكَسْرِ الْعَيْنِ
Artinya: “kemudian masdzr mim ini memiliki wazan Qiyasy, yaitu: jika berupa fi’il tsulatsi mujarrod yang berbentuk binak shohih, binak ajwaf, binak mahmuz dan binak mudlo’af, maka wazan masdar mimnya ikut wazan مَفْعَلٌ.”
Contoh: Binak Ajwaf مَقَالٌ، مَبَاعٌ, Binak Shohih مَنْصَرٌ، مَدْخَلٌ, Binak Mahmuz مَسَالَةٌ، مَادَبٌ, Binak Mudlo’af مَمَدٌّ، مَفَرٌّ
Kecuali berbentuk binak Mitsal wawi (ketika berbentuk masdar ghoiru mim fa’ fi’ilnya dibuang) maka wazan masdar mimnya ikut wazan مَفْعِلٌ (dikasroh ‘ain fi’ilnya), seperti: وَرَدَ – مَوْرِدٌ، وَعَدَ - مَوْعِدٌ, adapun lafadz وَقَى - مَوْقٍى tetap ikut wazan مَفْعِلٌ karena bukan berbentuk binak mitsal melainkan binak lafif mafruq.
Terkadang masdar mim ikut wazan مَفْعِلٌ akan tetapi hukumnya syadz (menyimpang dari kaidah), contoh: مَغْرِبٌ، مَسْجِدٌ dari asal kata غَرَبَ، سَجَدَ, seharusnya ikut wazan مَفْعَلٌ dengan dibaca fathah ‘ain fi’ilnya karena berbentuk binak shohih.
Adapun masdar mim  selain fi’il tsulatsi mujarrod maka wazannya seperti wazan isim maf’ul, contoh: اِعْتَقَدَ - مُعْتَقِدٌ
2.      Masdar ghoiru mim
مَا لاَ يَكُونُ فِى اَوَلِهِ مِيْمُ زَائِدَةُ
Artinya: “Yaitu masdar yang pada awalnya tidak terdapat mim tambahan.”
Masdar ghoiru mi mini dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Masdar ghoiru mim dari fi’il tsuatsi mujarrod
Masdar ini dihukumi masdar sama’I yaitu masdar yang lafadznya sudah ditentukan oleh orang arab, tidak disama-samakan dengan wazan atau lafadz lain. Contoh: نَصْراً dari fi’il madzi نَصَرَ
Masdar ghoiru mim dari fi’il tsulasi mujarrod kebanyakan dihukumi sama’i, akan tetapi menurut imam kholil dan imam akhfasy, yaitu: apabila menemukan suatu lafadz yang tidak diketahui bagaimana orang arab mengucapkan masdarnya lafadz tersebut, maka boleh mengqiyaskan dengan wazan-wazannya masdar yang ada. Imam farro’, yaitu: boleh mengqiyaskan masdar dengan wazan-wazannya masdar yang sudah ada walaupun sudah ada wazan sama’inya.
b.      Masdar ghoiru mim dari fi’il goiru tsuatsi mujarrod (tsulatsi mazid ruba’i, khumasi, sudasi dan fi’il ruba’i)
Masdar ini dihukumi qiyasi, dengan mengikuti wazan sebagai berikut:
1.      Fi’il madzi yang mengikuti wazan فَعَّلَ (tsulatsi mazid ruba’i) shohih lam fi’ilnya, maka masdar qiyasinya mengikuti wazan تَفْعِيْلاً, contoh: فَرَحَ - تَفْرِيْحاً . Jika berbentuk bina’ mu’tal lam, maka masdar qiyasinya mengikuti wazan تَفْعِيْلَةً, contoh: زَكَى - تَزْكِيَةً
2.      Fi’il madzi yang mengikuti wazan اَفْعَلَ shohih ‘ain fi’ilnya, maka masdar qiyasinya ikut wazan اِفْعَالاً, contoh: اَكْرَمَ - اِكْرَاماً . Jika berupa fi’it yang mu’tal ‘ain, maka masdarnya ikut wazan اِقَالَةً, contoh: اَقَامَ - اِقَامَةً
3.      Fi’il madzi yang ikut wazan فَاعَلَ, maka masdar qiyasinya ikut wazan فِعَالاً, contoh: قَاتَلَ - قِتَالاً
4.      Fi’il madzi yang ikut wazan , maka masdar qiyasinya ikut wazan فَعْلَلَةً dan wazan فِعْلاَلاً, contoh: دَخْرَجَ - دَخْرَجَةً - دِخْرَاجاً
Kemudian jika fi’il tersebut berupa fi’il khumasi atau sudasi, yang diawali dengan hamzah washol, maka wazan masdar qiyasinya seperti wazannya fi’il madzi lalu huruf ketiga dibaca kasroh dan huruf sebelum akhir ditambah alif, seperti contoh: اِسْتَغْفَرَ - اِسْتِغْفَارَا ، اِجْتَمَعَ - اِجْتِمَاعَا  . jika diawali dengan huruf ta’ maka huruf yang keempat dibaca dlomah, contoh:  تَدَخْرَجَ - تَدَخْرُجاً
Dan fi’il ghoiru tsulatsi yang wazan masdar ghoiru mimnya tidak mengikuti wazan-wazan diatas maka hukumnya syadz. Contoh: fi’il madzi yang ikut wazan فَعَلَ masdarnya tidak mengikuti wazan تَفْعِيْلاً seperti: جَرَبَ - تَجْرِبَةً

C.      Macam-macam masdar
1.      Masdar marroh atau masdar ‘adad
مَصْدَرُ الْمَرَّةِ هُوَ مَا يَذْكُرُ لِبَيَانِ عَدَدِ الْفِعْلِ
Artinya:           “Masdar marroh ialah kalimah (masdar) yang menjelaskan bilangan sesuatu pekerjaan.”
Maka jika kita menghendaki ma’na marroh, kalau dari fi’il tsulasi mujarrod maka ikut wazan wazan فَعْلَةً, contoh: ضَرَبْتُ زَيْداً ضَرْبَةً (Aku memukul zaid dengan sekali pukulan). Kecuali jika lafadznya ada ta’ ta’nis seperti lafadz رَحْمَةً، نِعْمَةً, maka kalau ingin menghendaki ma’na marroh, setelah lafadz tersebut harus menyebutkan lafadz ‘adad (bilangan), contoh:  رَحَمْتُهُ رَحْمَةً وَاحِدَةً. Jika fi’il ghoiru tsulatsi maka lafaz masdar yang dikehendaki ma’na marroh harusnya ditambah ta’, contoh: اَكْرَمْتُ زَيْداً اِكْرَامَةً
2.      Masdar nau’ atau masdar haiah
مَا يَذْكُرُ لِبَيَانِ نَوْعِ الْفِعْلِ وَصِفَتِهِ
Artinya: “Masdar nau’ ialah kalimah (masdar) yang untuk menjelaskan bentuk dan sifat dari suatu pekerjaan.”
Maka jika menghendaki ma’na tersebut, kalau dari fi’il tsulasi mujarrod, maka ikut wazan فِعْلَةً, contoh: عَاشَ زَيْدٌ عِيْشَةً حَسَنَةً (Zaid hidup dengan kehidupan yang baik). Selanjutnya jika dari fi’il ghoiru tsulasi maka masdarnya dengan sifat yang masdar nau’ (haiah), contoh: اَكْرَمْتُ زَيْداً اِكْرَاماً عَظِيْماً (Aku memuliakan zaid dengan memuliakan yang agung).
SUMBER
Anwar, Moch., Ilmu Sharaf / KH. Moch. Anwar, Bandung: Sinar Biru Algensindo, 1996
Midkhol Syanwani al roziah, Al-maqoshid ash-shorfiyyah, Jombang: Darul Hikmah 2009
Hamid  Abdul Manaf, Pengantar Ilmu Shorof, Nganjuk: Fathul Mubtadiin, 1993
Bahauddin Syech A, Syarah Ibnu ‘Aqil
DISUSUN OLEH:
Sarwono, dkk. PBA Madin INSURI Ponorogo
<<= Bab sebelumnya                                                              Bab selanjutnya =>> 


Artikel Terkait

3 komentar:

  1. Assalamu alaikum ustadz... Mon maap, mau nyaran aja, itu yang bagian maghrib dan masjid bukan wazan masdar, tapi wazan ism makan yang maknanya "tempat tenggelam" dan "tempat sujud". Demikian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam mb, bantu jawab yaa, disini isim masdar mim , isim makan , isim zaman itu 1 wazan yaa.. jd masjidun dan magribun itu selain isim jaman makan dia juga isim masdar mim

      Hapus
  2. Terimakasih ustadz,sangat membantu.

    BalasHapus