Selasa, 27 November 2012

Bentuk Fi’il Mudlori’ mabni ma’lum dan majhul



Sobat khoir, sebelumnya kami telah posting artikel tentang Ilmu Shorof, yaitu Fi’ilMadli mabni ma’lum dan majhul, dan Hamzah washol serta ruang lingkupnya. Berikut ini ilmu sorof. Bab Ketujuh yaitu BentukFi’il Mudlori’ mabni ma’lum dan majhul. Harapan kami semoga bab ini dapat mempermudah pemahaman kami dan juga bagi pembaca semua. Namun sebelumnya kami mohon maaf bila dalam penyusunannya masih terdapat banyak kekurangan, karena kami juga masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan.
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Fi’il Mudlori’
Fi’il Mudlori’ ialah kalimah yang menunjukkan berhasilnya sesuatu (hadats) pekerjaan ketika dikabarkan atau setelah dikabarkan.
اَلْفِعْلُ الْمُضَارِعِ هُوَ مَا دَلَّ عَلَى حُصُوْلِ الْشَّيْءِ حَالَ اْلاِخْتِيَارِ اَوْ بَعْدَهُ
Sedangkan menurut sebagian ulama memberi pengertian fi’il mudlori’ dengan definisi: “setiap kalimah menunjukkan arti pekerjaan yang disertai zaman hal atau istiqbal”, contoh:  يَقُوْمُ زَيْدٌ(zaid sedang berdiri), jadi ketika mengucapkan (mengkabarkan) lafadz يَقُوْمُ pekerjaan berdiri sedang dilakukan, demikian ini disebut zaman hal. Jika ketika mengkabarkan lafadz  يَقُوْمُpekerjaan berdiri dilakukan setelah mengucapkan maka ini disebut zaman istiqbal.
Tanbih
-          Fi’il mudlori’ ketika tidak ada suatu qorinah yang menentukan pada zaman hal atau istiqbal, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama:
a.      Menurut qoul yang ashoh, yaitu bisa mencakup zaman hal dan istiqbal, contoh: تَقْرَاُ bisa diartikan sedang membaca (zaman hal) atau akan membaca (zaman istiqbal).
b.      Menurut sebagian ulama, yaitu secara hakekat menunjukkan zaman hal dan secara majaz menunjukkan zaman istiqbal.
c.       Menurut sebagian ulama yang lain, yaitu secara haqiqi menunjukkan zaman istiqbal dan secara majazi menunjukkan zaman hal.
-          Jika ada qorinah, maka untuk menentukan zaman disesuaikan dengan qorinahnya.
a.      Jika qorinahnya hal, maka zamannya hal. Contoh: يَذْهَبُ زَيْدٌ اْلاۤنَ الَى السُّوْقِ  (zaid pergi kepasar sekarang). Karena ada lafadz اْلاۤنَ, maka zamannya menunjukkan zaman hal.
b.      Jika qorinahnya istiqbal, maka zamannya istiqbal. Contoh: يَذْهَبُ زَيْدٌ غَدًا الَى السُّوْقِ (zaid pergi kepasar besok). Karena ada lafadz غَدًا, mala zamannya menunjukkan zaman istiqbal.
Fi’il mudlori’ ditandai dengan huruf pertama berupa salah satu huruf mudloro’ah yaitu;  ناتيyang menunjukkan arti:
-          Huruf nun menunjukkan arti الْمُتَكَلِّمُ مَعَ الْغَيْرِatau الْمُتَكَلِّمُ الْمُعَظِّمُ نَفْسَهُ, contoh: نَسْتَغْفِرُ اللهَ  (Kami mohon ampun pada Alloh)
-          Huruf hamzah menunjukkan arti  الْمُتَكَلِّمُ وَحْدَهُ, contoh: اَدْعُوْ اللهَ  (Saya berdoa pada Alloh)
-          Huruf ya’ menunjukkan arti  الْغَائِبُatau الْغَائِبَةُ, contoh: يَفْتَحُ الْبَابَ (Dia membuka pintu),  يَحْطِنُ الثِّيَابَ(Mereka perempuan menjahit pakaian)
-          Huruf ta’ menunjukkan arti  الْمُخَاطَبُatau الْمُخَاطَبَةُ, contoh:  تَذْهَبُ اِلَى السُّوْقِ(Kamu laki-laki pergi kepasar)
Adapun alasan para ulama menentukan huruf  ناتيsebagai tambahan pada fi’il mudlori’ adalah karena para ulama mencari huruf yang bisa berlaku, baik dzatiyah atau juz’iyah yakni tiga harokat (fathah, dlomah, kasroh).
-          Alif diganti dengan hamzah karena tidak mungkin alif dibuat dipermulaan kata karena alif selamanya mati, sedang memulai dengan huruf yang mati itu tidak mungkin, disamping iti makhroj hamzah dekat dengan makhroj alif.
-          Wawu diganti dengan ta’ karena wawu sudah biasa diganti ta’, kalau ditetapkan wawu maka akan berat pelafadzannya yakni  وَوَوْجَلُtiga huruf berkumpul jadi satu.
-          Kemudian untuk membedakan antara mutakalim wahdah dan mutakalim ma’al ghoir seperti fi’il madli, akhirnya nun juga ditambahkan karena menyerupai huruf mad dan huruf lain dalam segi samarnya dan ghunnahnya.
B.      Fi’il Mudlori’ Mabni Ma’lum
فَإِنْ بِمَعْلُوْمٍ فَفَتْحُهَا وَجَبْ   إِلاَّ الرُّبَاعِى غَيْرُ ضَمٍّ مُجْتَنَبْ
Fi’il mudlori’ mabni ma’lum itu huruf pertama (huruf mudloro’ah/ناتي ) harus dibaca fathah, jika selain fi’il ruba’i, yaitu fi’il tsulasi, khumasi dan sudasi. Baik berbentuk mufrod, tasniyah, jama’, waqi’ ghoib, ghoibah, mukhotob, mukhotobah, atau waqi’ mutakalim wahdah atau mutakalim ma’ al ghoir dan seluruh tasrifan lughowi. Contoh: fi’il tsulatsi: تَقْرَاُ, fi’il khumasi: يَنْكَسِرُ, fi’il sudasi: نَسْتَغْفِرُ
Sedangkan huruf mudloro’ah pada fi’il ruba’i (baik fi’il ruba’i mujarrod ataupun fi’il rubai dari fi’il tsulasi yang mendapat satu huruf tambahan) dibaca dlomah. Contoh: fi’il ruba’i mujarrod: يُدَخْرِجُ, fi’il tsulasi mazid ruba’i:  يُكْرِمُ  
Kemudian huruf sebelum akhir pada fi’il mudlori’ mabni ma’lum harus dibaca kasroh untuk fi’il yang terdiri lebih dari tiga huruf selain fi’il khumasi yang mengikutu wazan تَفَعْلَلَ، تَفَاعَلَ، تَفَعَّلَ, contoh: fi’il rubai’:  اَكْرَمَ يُكْرِمُ, fi’il khumasi:  اِنْتَصَرَ يَنْتَصِرُ, fi’il sudasi:اِسْتَقْبَلَ يَسْتَقْبِلُ
Sedangkan fi’il mudlori’ dari fi’il khumasi yang mengikuti wazan تَفَعْلَلَ، تَفَاعَلَ، تَفَعَّلَ, maka huruf sebelim akhir harus dibaca fathah. Contoh: تَفَعْلَلَ يَتَفَعْلَلُ تَجَلْبَبَ يَتَجَلْبَبُ، تَفَاعَلَ يَتَفَاعَلُ تَخَاصَمَ يَتَخَاصَمُ، تَفَعَّلَ يَتَفَعَّلُ تَعَلَّمَ يَتَعَلَّمُ
C.      Fi’il Mudlori’ Mabni Majhul
وَإِنْ بِمَجْهُوْلٍ فَضَمُّهَا لَزِمْ    كَفَتْحِ سَابِقِ  الَّذِى  بِهِ اخْتُتِمْ
Fi’il mudlori’ mabni majhul itu huruf mudloro’ahnya (huruf pertama) harus dibaca dlommah dan huruf sebelum akhir dibaca fathah. Contoh: يُسْتَخْرَجُ – يُنْتَصَرُ يُكْرَمُ
1.      Cara membuat fi’il mudlori’ mabni majhul yaitu; dengan mengikuti qo’idah: ضُمَّ اَوَّلُهُ وَفُتِحَ مَا قَبْلَ اْلاَخِرِ yaitu: “Huruf pertama dibaca dlommah dan dibaca fathah pada huruf sebelum akhir”
Dengan rincian:
a.      Fi’il tsulasi dan ruba’i huruf pertama dibaca dlommah dan huruf sebelum akhir dibaca fathah, contoh:  يَنْصُرُmenjadi  يُنْصَرُ,  يَكْرِمُmenjadi يُكْرَمُ
b.      Fi’il mudlori’ yang fi’il madlinya diawali dengan ta’ tambahan, huruf pertama dibaca dlommah dan huruf sebelum akhir dibaca fathah, contoh:  يَتَبَاعَدَmenjadi  يُتَبَاعَدُ,  يَتَكَسَّرُ menjadi يُتَكَسَّرُ
c.       Fi’il mudlori’ yang madhinya diawali dengan hamzah washol, huruf pertama dibaca dlommah dan huruf sebelum akhir dibaca fathah, contoh:  يَجْتَمِعُmenjadi  يُجْتَمَعُ,  يَنْكَسِرُ menjadi يُنْكَسَرُ
2.      Hukum fi’il mudlori’ ialah mu’rob, seperti dalam nadlom:
وَاَعْرَبُوْا مُضَارِعًا اِنْ عَرِيَا   مِنْ نُوْنِ تَوْكِدٍ مُبَاشِرٍ وَمِنْ    نُوْنِ اِنَاثٍ كَيَرُعْنَ مَنْ فُتِنْ
Artinya: “Fi’il mudlori itu hukumnya mu’rob jika tidak bertemu langsung dengan nun taukid dan nun jama’ inas.”
D.     Pengertian Fi’il Amar
فِعْلُ اْلاَمْرِ هُوَ مَا دَلَّ عَلَى طَلَبِ وُقُوعِ الْعَمَلِ
Artinya: “Fi’il amar ialah kalimat yang menunjukkan arti meminta untuk melakukan sesuatu pekerjaan.”
Fi’il amar dibagi menjadi dua macam, yaitu amar ghoib dan amar hadlir
1.      Fi’il amar ghoib
Yaitu: fi’il amar pada asalnya dari fi’il mudlori’ yang kemasukan lam amar (lam yang menunjukkan arti perintah), kemudian jika fi’il mudlori’ yang kemasukan lam amar tersebut bersandar pada fi’il ghoib, maka dinamakan fi’il amar ghoib, contoh:لِيَضْرِبْ  (memukullah ia)
Lam amar disini ialah lam yang digunakan untuk perintah melakukan sesuatu , contoh: يَضْرِبُ menjadi لِيَضْرِبْ (Hendaknya dia laki-laki memukul). Kemudian jika lam amar tersebut dimasuki wawu atau fa’ atau kaf, maka hokumnya boleh dibaca sukun, contoh: فَلْيُكْرِمْ (maka hendaknya dia memuliakan)  وَلْيُكْرِمْ (dan hendaknya dia memuliakan)
Hukum fi’il amar ghoib berasal dari fi’il mudlori’ baik mabni ma’lum atau mabni majhul yang telah kemasukan lam amar disebut juga fi’il amar ghoib. Huruf akhir fi’il amar ghoib harus dijazemkan, yakni disukun jika huruf akhirnya berupa huruf shohih dan membuang huruf ‘ilat jika huruf akhirnya berupa huruf ‘ilat, contoh: لِيَضْرِبْ، لِيُضْرَبْ
2.      Fi’il amar hadlir dibahas secara tersendiri
E.      Pengertian Fi’il Nahi
فِعْلُ النَّهْيِ هُوَ مَا دَلَّ عَلَى طَلَبِ التَّرْكِ
Fi’il nahi ialah kalimah yang menunjukkan arti perintah (meminta) untuk meninggalkan (tidak melakukan) sesuatu. Fi’il nahi ini harus disambung dengan laa nahi, yaitu laa yang digunakan untuk meminta meninggalkan melakukan sesuatu (tidak melakukan).
1.      Fi’il Amar dan Nahi dari Binak Shohih
Laa nahi bisa masuk pada fi’il mudlori’ waqi’ ghoib/ghoibah dan mukhotob/mukhotobah, baik mabni ma’lum maupun mabni majhul maka fi’il tersebut disebut fi’il nahi ghoib dan nahi hadlir. Contoh: لاَيَضْرِبْ، لاَيُضْرَبْ، لاَتَضْرِبْ، لاَتُضْرَبْ، لاَتَضْرِبِيْ، لاَتُضْرَبِيْ، لاَ اُضْرَبْ، لاَ نُضْرَبْ.
Jadi pada hakekadnya fi’il nahi itu ialah fi’il mudlori’ yang dimasuki laa nahi dan hukum fi’il mudlori’ yang dimasuki laa nahi itu harus dijazemkan, yakni disukun jika huruf akhirnya berupa huruf shohih (fi’il mudlori’ shohih akhir), contoh: لاَتَضْرِبْ
وَاْلآخِرَاحْذِفُ إِنْ يُعَلْ كَالنُّوْنِ فِى   اَمْثِلَةٍ وَنُـوْنُ نِسْـوَةٍ  تَفِـى   
Fi’il mudlori’ yang dimasuki lam amar dan laa nahi apa bila huruf akhirnya berupa huruf ‘ilat (wawu, ya’ dan alif atau disebut mu’tal akhir) maka huruf ‘ilatnya harus dibuang. Contoh: لِيَغْزُ، لاَتَغْزُ
Demikian halnya nun yang berada di af’alul khomsah yaitu fi’il mudlori’ yang bertemu alif tasniyah, wawu jamak dan ya’ mu’annats mukhotobah. Contoh: لاَيَنْصُرَا، لاَيَنْصُرُوْا، لاَيَنْصُرِيْ.
Sedang nun jamak innats itu tidak dibuang, contoh:  لِيَنْصُرِنَ
2.      Fi’il Amar dan Nahi dari Binak Naqis
Sebagaimana penjelasan diatas bahwa akhir dari fi’il mudlori’ yang dimasuki lam amar/laa nahi itu, jika berupa fi’il mudlori’ shohih akhir maka huruf akhirnya harus disukun, jika huruf akhir berupa huruf ‘ilat (wawu, alif dan ya’) maka huruf ‘ilatnya harus dibuang, karena huruf ilat itu menyerupai harokat yang ada diakhir. Contoh: لِيَغْزُ، لاَيَغْزُ، لِتَغْزُ، لاَتَغْزُ، اُغْزُ، لاَتَغْزُ، اُغْزِيْ، لاَتَغْزِيْ.
Begitu juga fi’il mudlori’ yang dimasuki lam amar dan fi’il nahi yang bertemu alif tasniyah, wawu jamak dan ya’ mu’annats mukhotobah (af’alul khomsah) maka nun  tanda i'rob rofa’ harus dibuang, contoh: لاَيَنْصُرَا، لاَيَنْصُرُوا، لاَيَنْصُرِيْ، لِيَنْصُرَا، لِيَنْصُرُوا، لِيَنْصُرِيْ
SUMBER
Anwar, Moch., Ilmu Sharaf / KH. Moch. Anwar, Bandung: Sinar Biru Algensindo, 1996
Midkhol Syanwani al roziah, Al-maqoshid ash-shorfiyyah, Jombang: Darul Hikmah 2009
Kholik  Abdul, Terjemah nadlom maqsud, Nganjuk:Darus Salam
Rohman Ahmad Abdur, Nadzom Maqsud
DISUSUN OLEH:
Sarwono, dkk. PBA Madin INSURI Ponorogo
<<= Bab sebelumnya                                                              Babselanjutnya =>> 



1 komentar: