Sebagaimana yang telah
diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73
golongan dan hanya ada 1 golongan saja yang kelak akan selamat. Sedangkan yang lainnya
akan binasa. Ketika beliau ditanya oleh para sahabat: “siapakah mereka yang
akan selamat?” Rasululloh SAW menjawab:
“mereka adalah orang-orang yang mengikuti ajaranku dan ajaran para sahabatku”.
Tidaklah cukup bagi seorang hamba mengklaim dirinya sebagai bagian dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau bagian fireqoh an-Najihah karena merasa telah mengikuti sunnah Rosululloh SAW. Suatu hal yang sangat mendasar adalah mengkaji dan memahami apa yang Rosul lakukan dan ucapakan serta bagaimana para sahabat meriwayatkan dan mensyarahi sebuah hadist tentang suatu perkara. Dalam makalah ini akan membahas latar belakang lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
A. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
2.
Bagaimanakah latar
belakang lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
B.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam sejarah merupakan istilah yang
menjadi nama bagi golongan kaum Muslimin yang memiliki kesamaan dlam beberapa
prinsip dan memiliki kesepakatan dalam beberapa pandangan. Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini bukan istilah yang datang dari Nabi SAW. Sebagai nama
bagi kelompok tertentu.
Secara kebahasan, Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata, yaitu:
1. Kata ahl, yang
berarti keluarga, pengikut atau golongan.
2. Kata as-sunnah,
secara etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh (jalan dan perilaku), baik
jalan dan perilaku tersebut benar atau keliru. Sedangkan secara terminology
(istilah), para ulama berbeda pendapat tentang pengertian as-sunnah. Lalu
apakah pengertian sunnah
yang menjadi maksud dalam istilah
Ahlussunnah Wal Jama’ah
berkaitan dengan perpecahan umat islam menjadi
beberapa golongan?. Menjawab pertanyaan ini, al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah itu adalah golongan yang mengikuti
ajaran Nabi dan ajaran sahabatnya. Pengertian demikian ini merupakan pengertian
yang baku dalam istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
3. Kata
jama’ah, secara etimologis ialah orang-orang
yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai tujuan. Sedangkan
secara terminogis, para ulama berbeda pendapat tentang maksud al-jama’ah dalam
istilah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah.
Ada 5 pendapat tentang pengertian jama’ah, antara lain:
a.
Menurut sahabat Abu
Mas’ud al-Anshori dan Abdulloh bin Mas’ud, jama’ah adalah mayoritas kaum
muslimin.
b.
Jama’ah adalah
para ulama dan imam yang mencapai tingkatan mujtahid.
c.
Menurut sahabat
Umar bin Abdul ‘Aziz, jama’ah adalah para sahabat Nabi SAW saja bukan generasi
sesudah mereka.
d.
Jama’ah adalah ijma’
kaum Muslimin terhadap suatu hukum dan prinsip yang harus diikuti oleh pengikut
oleh agama-agama lain karena ijma’ mereka dijamin oleh Allah tidak akan
tersesat sebagaimana dalam hadist Nabi SAW.
e.
Menurut al-Imam
at-Thobari, jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila bersepakat dalam
memilih seorang pemimpin, maka pemimpin itu harus dibaiat dan disetujui oleh
kaum muslimin yang lain, dan barang siapa yang melepaskan diri dari
kepemimpinannya maka dia keluar dari jama’ah kaum Muslimin.[1]
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan
mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam dasar-dasar akidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadist
Rosululloh SAW yang artinya:
“........maka barang siapa yang menginginkan tempat
lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al-jama’ah; yakni berpegang teguh pada akidah al-jama’ah.”
(hadist ini dishohihkan oleh al-Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan
hadist hasan
shohih).[2]
B.
Latar Belakang Lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketika Nabi SAW wafat, kaum muslimin
masih bersatu dalam agama yang mereka jalani. Klasifikasi sosial yang ada pada saat
itu terdiri dari 3 golongan, yaitu orang muslim, orang kafir, dan orang
munafik. Namun begitu Nabi wafat, perselisihan diantara mereka terjadi tentang
pemimpin yang akan menjadi pengganti Nabi
SAW. Namun akhirnya, kekuatan kepemimpinan para sahabat
Nabi tersebut mengalahkan semua ambisi dan fanatisme kesukuan, sehingga
menggiring mereka pada kesepakatan untuk memilih Abu Bakar As-Shidiq sebagai
kholifah. Setelah Ia
wafat, khilafah berpindah tangan Umar bin Khatab,
sahabat Nabi terbaik setelah Abu Bakar. Hingga akhirnya khalifah Umar menemui
ajalnya setelah ditikam oleh seorang budak Persia, yaitu Abu Lu’lu’ah
al-Majusi. Setelah ia wafat, khilafah berpindah ketangan kholifah Utsman bin
Affan, menantu Nabi SAW. Ia dibaiat sebagai kholifah berdasarkan hasil rapat
tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang
wafatnya.
Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan
Utsman, friksi internal dan gejolak politik
seputar kebijakan-kebijakan Utsman mulai muncul kepermukaan dan menjadi sasaran
kritik sebagian masyarakat. Dalam kondisi tersebut, unsur-unsur Majusi dan
Yahudi ikut bermain dalam mengeruhkan suasana, sehingga lahirlah berbagai
kekacauan dan beragam propaganda dengan membawa kepentingan menurunkannya dari
jabatan melalui amr ma’ruf dan nahi mungkar, sehingga hal tersebut barakhir
dengan terbunuhnya kholifah Utsman ditangan kaum pemberontak.
Khilafah berpindah tangan ke Ali bin Abi
Tholib, menantu dan sepupu Nabi serta sahabat terbaik setelah wafatnya Utsman.
Namun beragam kekacauan yang terjadi pada Utsman sangat berpengaruh terhadap
pemerintahan Ali bin Abi Tholib. Pada masa pemerintahannya terjadi perang
saudara besar-besaran antara Ali dengan kelompok Aisyah, Tholhah, dan Zubair
dalam perang jamal, kemudian terjadi perang shiffin dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sofyan.
Pada masa pemerintahannya, muncul satu
kelompok dari pengikut Ali yang
memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran khowarij. Mereka
mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengamalan, sehingga
keyakinan tidaklah berguna
ketika
tidak disertai
pengamalan. Oleh
karena itu, khowarij mengkafirkan pelaku dosa. Khowarij berpandangan bahwa
Utsman, Ali, Aisyah, Tholhah, Zubair, Muawiyah, dan pengikut mereka
dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir. Khowarij hanya mengakui kholifah
Abi Bakar dan Utsman.
Pada masa Ali, lahir juga aliran
Sabaiyah dari kalangan Rafidhah (Syi’ah) yang dipimpin oleh Abdulloh bin Saba’.
Mereka berpandangan bahwa Ali adalah Tuhan. Ajaran Abdulloh bin Saba’ ini
dilanjutkan oleh golongan syiah yang terpecah menjadi 3 golongan besar, yaitu
Imamiyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah. Kelompok syiah yang ekstrim seperti
Imamiyah dan Ismailiyah mengkafirkan seluruh sahabat Nabi kecuali empat orang.
Setelah benturan pemikiran
antara Syi’ah dan Khowarij semakin keras pasca proses arbitrase antara Ali dan
Mu’awiyah. Situasi tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok yang netral
(tidak memilih antara pihak manapun). Menurut kelompok ini, ketika kita tidak dapat menentukan mana
pihak yang salah dan mana yang benar, maka kita harus mengembalikan persoalan
ini kepada Allah. Dengan pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan
aliran Murji’ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada Allah).
Pada akhir generasi sahabat,
lahir aliran Qadariyah yang dipimpin
oleh Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Kelompok ini
berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena rencana sendiri bukan
karena takdir Allah. Pendangan mereka menuai penolakan keras dari kalangan sahabat yang
masih hidup pada saat itu, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan
lain sebagainya.
Pada masa al-Imam al-Hasan Al-Bashri
lahir kelompok Mu’tazilah yang dirintis oleh Atho’ al-Ghazzal yang membawa
faham manzilah baina al manzilataini (tempat antara dua tempat). Aliran ini
berpandangan bahwa seorang muslim yang fasik tidak dikatakan mukmin dan tidak
dikatakan kafir dan diakhirat nanti dia akan kelak dineraka bersama dengan
orang-orang kafir. Selain aliran tersebut diatas muncul aliran Najjariyah,
Karramiyah dan Wahhabi.
Berdasarkan data sejarah yang ada,
setelah terjadinya fitnah pada masa kholifah Utsman bin Affan kemudian aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran islam yang murni
dan asli bermunculan satu persatu, maka pada periode akhir generasi sahabat Nabi
SAW istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
mulai diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin
yang masih setia kepada ajaran islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan
ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah diriwayatkan dari sahabat Nabi
generasi junior (sighor al-shohabah) sepert Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu
Sa’id al-Khurdi. Ibnu Abbas (3SH-68H/619-688) mengatakan:
tPöqt Ùuö;s? ×nqã_ãr uqó¡n@ur ×nqã_ãr 4
Ibnu abbas berkata ketika menafsirkan firman Allah:
“pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang
hitam” (QS. Ali Imron: 106). Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri,
adalah pengikut Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan
orang-orang yang wajahnya hitam muram adalah pengikut bi’ah dan kesesatan.[3]
SIMPULAN
1.
Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa
yang ditempuh Rosululloh SAW dan para sahabatnya.
2.
Munculnya aliran-aliran
yang menyimpang dari ajaran islam menjadi latar belakang lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
SUMBER
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Syabab. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, (Jakarta: Syahamah Press, 2012)
Ramli,
M. Idris. Pengantar Sejarah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah
DISUSUN OLEH:
Lia Riana,
Imam Khoironi, Mifatahul Anam, M. Hadhiq Maftuhin,
Sarwono. PBA Madin INSURI
Ponorogo
dari kalangan Rafidhah (Syi’ah) ==> kata syiah anda sandingkan dg rafidah, coba cek kitab2 Ulamaa SUnni .. BAHLUL ente
BalasHapusMasak sihhhh ada rafidah pada jaman sahabat ???
BalasHapuskalau yang husuh oleh abu hasan ada ap gg
BalasHapusal asya ari al junaedi algozali sekalian ada enggak .. kalau ada tolong minta bantuannya ya...
BalasHapussemua pasti ada
BalasHapus