PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Seiring berjalannya waktu kemurnian agama Islam mengalami
perubahan, muncul sengketa dan diskursus pemahaman baru dalam menafsirkan
Al-Qur’an dan Al-Hadist. Rosululloh sebelumnya sudah mengingatkan bahwa Islam
akan pecah menjadi 73 gologan, ini melebihi perpecahan umat Yahudi dan Nasroni yang
bejumlah 71 dan 72. Dari 73 pecahan Islam hanya satu yang benar dan masuk
surga, lainnya masuk neraka. Rosululloh mengisyaratkan dalam Hadistnya yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Setidaknya, akhir periode pemerintahan Khalifah Utsman Ibnu Afan
adalah awal perselisihan itu dimulai berlanjut pada pemerintahan Sayyidina ‘Ali
bin Abi Tholib RA. dan terus memanas pada masa-masa berikutya. Munculnya
sekte-sekte yang baru tidak membuat Aswaja terpengaruh dan terseret arus ‘Aliran
kecil yang memisahkan Ahlussunah Waljama’ah dari sumber aslinya. Maka tidak
heran jika Aswaja dikenal sebagai ajaran orisinil dari Rosulullah SAW bagi yang teguh dan tak
terpengaruh oleh ajaran Islam sesat.
Aswaja berdiri ditengah puluhan Islam pecahan yang terus
berusaha merobohkan dinding pertahanan. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan
jika Aswaja dirumuskan dan diformulasikan dalam kondifikasi (pembukuan yang
sistematis). Tujuannya agar menjadi pedoman bagi pengikutnya dan menjadi
perisai dari hantaman sekte lain yang siap merobohkan kekokohan Aswaja.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
kami rumuskan item masalah yang akan dibahas pada penulisan makalah ini, yaitu:
- Bagaimana awal perselisihan dalam Islam?
- Bagaimana Khalifah Utsman dan al-fitnah al-kubro?
- Apa latar belakang al-fitnah al-kubro?
- Bagaimana Khalifah ‘Ali dan perang jamal?
- Bagaimana terjadinya Perang siffin?
A. Awal
perselisihan dalam Islam
Realitas kesejarahan tidah dapat dipungkiri bahwa umat Islam
terpecah menjadi 73 kelompok, berdasarkan keterangan dalam hadits-hadits sahih
dan mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi SAW). Para pakar juga
telah menguraikan
perinciannya tentang makna dan siapa saja dari 73 kelompok itu. Berdasarkan
kesepakatan para pakar, motif utama terjadinya perpecahan dikalanga umat Islam
tersebut adalah berangkat dari ranah politik, yaitu soal khilafah atau suksesi
kepemimpinan pasca wafatnya Nabi SAW.
Perselisihan dalam soal kepemimpinan ini berangkat dari tidak
adanya nash (teks) yang definitif (qoth’i), baik dalam Al-Qur’an maupun dalam
sunnah yang sahih, yang menunjuk kepada seseorang atau keluarga secara khusus,
sebagai Khalifah sepeninggalan Nabi SAW. Sampai Nabi SAW. wafat, beliau belum
pernah memberikan isyarat tentang seseorang atau keluarga secara jelas untuk
menjadi Khalifah setelahnnya. Karenannya, apabila kita cermati proses
pembai’atan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq RA di Saqifah Bani Sa’idah, kita
dapati bahwa pembai’atan tersebut berjalan secara terbuka, bebas dan tanpa ada
mandat, wasiat dan nash dari Nabi SAW.
Memang tidak dapat disangkal, bahwa Nabi SAW. telah
memerintahkan Abu Bakar bertindak sebagai imam shalat pada waktu beliau sakit
menjelang wafatnya, dan sebagian kalangan ada yang memahami, bahwa para sahabat
memilihnya sebagai Khalifah lantaran faktor tersebut. Akan tetapi walaupun
pemahaman ini dapat dibenarkan, hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai komitmen
atau mandat bahwa dialah yang akan menjadi Khalifah setelah Nabi SAW. wafat,
meskipun secara umum penunjukan sebagai imam shalat tersebut sebagai eksplanasi
keutamaan Abu Bakar dan posisinya yang sangat penting di antara sahabat.
Andaikata penunjukan Abu Bakar sebagai imam shalat merupakan komitmen dan
mandat bahwa dialah yang akan menjadi Khalifah setelahnya, niscaya Abu Bakar
sendiri – dan mungkin juga sahabat lain seperti Umar misalnya – akan menjadikan
peran Abu Bakar sebagai imam shalat tersebut sebagai argumentasi di Saqifah
Bani Sa’idah dalam menyelesaikan kemelut politik yang sedang dihadapi.
Berangkat dari tidak adanya teks yang tegas ini, segera
setelah Nabi SAW. wafat, dikalangan sahabat terjadilah perbedaan pendapat tentang siapa
yang akan menjadi Khalifah sesudahnya. Kaum Anshor yang telah berjasa besar
dalam memberikan perlindungan kepada Nabi SAW, perlindungan kepada kaum Muhajirin
serta telah mengorbankan jiwa dan raga dalam membela agama, berpandangan bahwa
golongan Anshor lebih berhak menjadi Khalifah setelahnya. Mereka mencalonkan
pemimpin mereka, Sa’ad bin Ubadah untuk memegang kendali kepemimpinan umat.
Akan tetapi, begitu mereka mendengar pidato Abu Bakar yang menjelaskan pokok
persoalan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, mereka segera menyadari
kekeliruan mereka dan segera membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah. Kemudian
secara aklamasi kaum muslimin memberikan bai’atnya pula kepada Abu Bakar. Hal
ini menjadi salah satu lembaran gemilang dalam Sejarah Islam, di mana kemelut
politik dapat diselesaikan dengan cara sangat bijak dan menjadi awal persatuan
kaum Muslimin. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa saqifah adalah awal persatuan
umat.
Di sisi lain, ada pula yang berpandangan bahwa Suku Bani Hasyim
merasa lebih berhak menjadi Khalifah setelah Nabi karena faktor kekerabatan
mereka yang sangat dekat dengan Nabi konon, mereka menyerukan agar ‘Ali bin Abi
Thalib tampil menjadi Khalifah sebagai wakil dari Bani Hasyim. Namun demikian,
sebab pandangannya tersebut Bani Hasyim tidak sampai mengobarkan fitnah, bahkan
mereka mengikuti aspirasi publik yang menyepakati keKhalifahan Abu Bakar, Umar dan
Utsman (47SH-35H/577-656M). Sementara kelompok Syi’ah berpandangan bahwa ‘Ali bersama
Bani Hasyim dan 12 orang dari kaum muhajirin dan anshar melakukan perlawanan
terhadap keKhalifahan Abu Bakar. Mereka melakukan bai’at terhadap Abu Bakar setelah
posisi mereka menemukan jalan buntu dan menghadapi kesulitan besar dalam
mengusung ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Akan tetapi pandangan Syi’ah ini
tidak memiliki landasan historis yang dapat dipertanggung-jawabkan secara
ilmiah.
B. Khalifah
Utsman dan al-fitnah al-kubro
Pada masa pemerintah Khalifah Abu Bakar dan Umar, dan
sebagian besar masa pemerintahan Khalifah Utsman, kaum Muslimin berada dalam
suasana yang kondusif, tenang dan harmonis. Perselisihan dan kemelut internal
relatif tidak terjadi. Hal ini disamping karena kebijakan politik yang diambil
tidak membuka peluang lahirnya friksi internal dan gerakan oposisi, juga karena
pada saat itu kaum Muslimin disibukkan dengan jihad dan Ekspansi militer Islam (futuhat)
ke daerah-daerah sekitar jazirah arab, sebagai pemerataan jalan bagi
penyebarluasan dakwah Islam ke seluruh Dunia.
Diantara prestasi luar biasa dari pemerintahan ‘Utsman yang
sampai sekarang masih dapat dirasakan kontribusinya bagi peradapan Islam adalah
penulisan kembali mushaf Al-Qur’an yang kemudian disebut dengan Mushhaf
‘Utsmani atau Mushhaf al-Imam.[1]
Baru setelah 6 tahun pertama dari masa kepemimpinan Khalifah
Utsman tepatnya selama 12 tahun yaitu (23 H/644 M – 35 H/655 M), badai fitnah
mulai mengguncang dengan hebat dan kuat, dan pada akhirnya mengantarkan pada
terbunuhnya Khalifah Utsman tahun 35 H / 655 M, Serta beragam peristiwa politik
yang mengiringinya dan huru-hara yang terjadi sesudahnya. Hal ini menjadi topik
utama kajian para sejarawan dan para pakar. Masing-masing berusaha mengungkap
berbagai sebab dan latar belakang terjadinya fitnah itu.
Dalam catatan sebagian sejarawan, maka terdapat sekian banyak
tuduhan terhadap Khalifah Utsman yang dianggap memberikan justifikasi dan
legitimasi bagi terjadinya kemelut politik dan perlawanan terhadap Khalifah Utsman.
Di antara tuduhan-tuduhan tersebut adalah:
Khalifah Utsman dianggap melakukan nepotisme, berlebihan memberikan perhatian kepada kerabat dekatnya, sampai mendirtribusikan mereka dalam jabatan penting, sebagai tempat kepercayaan dan penasehat dalam menjalankan roda pemerintahannya. Diantaranya adalah:
Khalifah Utsman dianggap melakukan nepotisme, berlebihan memberikan perhatian kepada kerabat dekatnya, sampai mendirtribusikan mereka dalam jabatan penting, sebagai tempat kepercayaan dan penasehat dalam menjalankan roda pemerintahannya. Diantaranya adalah:
a. Walid
bin ‘Uqbah, saudara Utsman dari pihak ibu. Utsman mengangkat Walid sebagai Gubernur
kufah setelah memberhentikan Sa’ad bin Abi Waqqash (32 SH – 55 H / 592 – 675
M).
b. Abdullah
bin Sa’ad bin Abi Sarah (w. 36 H/656 M), saudara sesusu Utsman diangkat sebagai
Gubernur Mesir setelah memberhentikan Amr bin Al’ash (50 SH – 43 H / 574 – 664
M).
c. Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, Gubernur damaskus pada masa Umar. Pada masa Utsman, otonomi
kekuasaannya semakin luas meliputi seluruh wilayah Syam yaitu Himash,
Palestina, Yordania dan Lebanon.
d. Marwan
bin hakam (2-65 H / 623 – 685 M). Saudara sepupu Utsman diangkat sebagai Sekretaris
Negara dan mengendalikan banyak kebijakan.
Khalifah Utsman juga dituduh menjadikan kerabat dekatnya sebagi tempat kepercayaan. Dan meninggalkan para senior sahabat seperti ‘Ali bin Abi tholib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah dan lain-lain sebagi penasehat yang sebelumnya menjadi kepercayaan Khalifah Umar dan dewan penasehatnya.
Kecaman juga diarahkan terhadap kebijakan Utsman menyangkut kekayaan negara. Ia dituduh memonopoli sebagian keayaan negara, tindakan yang tidak dikenal pada Khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar. Utsman juga memberikan prioritas kerabatnya dalam memanfaatkan kekayaan negara, seperti penghibahan khumus (seperlima) dari kharaj (pajak) afrika kepada Marwan bin Hakam.
Utsman dituduh bersikap lemah dan penuh toleran terhadap para pejabat dari kalangan kerabatnya, sebaliknya ia dituduh bertindak keras dan kasar terhadap sebagian sahabat Nabi SAW. yang bukan kerabatnya. Ia menolak semua saran-saran dan nasehat para senior sahabat. Bahkan ia pernah memukul sebagian mereka, seperti ‘Ammar bin Yasir (57 SH-37 H/567-657 M) hingga ususnya pecah. Ia juga memukul Abdullah bin Mas’ud (28 SH-32 H/596-652 M), dan memutus tunjangannya. Ia juga mendeportasi Abu Dzar Al-Ghifari (w. 32 H/652 M) ke Rabdzah.
Demikian tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Khalifah Utsman. Namun bila kita amati terdapat sekian banyak keganjilan pada tuduhan-tuduhan tersebut, apalagi sampai berimplikasi pada lahirnya sebuah revolusi, perlawanan dan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Karena dari sekian banyak tuduhan tersebut adakalanya cacat secara substansial dan dalam segi riwayat sejarawan. Berikut keganjilan-keganjilan menyangkut tuduhan-tuduhan terhadap Utsman:
Kecaman juga diarahkan terhadap kebijakan Utsman menyangkut kekayaan negara. Ia dituduh memonopoli sebagian keayaan negara, tindakan yang tidak dikenal pada Khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar. Utsman juga memberikan prioritas kerabatnya dalam memanfaatkan kekayaan negara, seperti penghibahan khumus (seperlima) dari kharaj (pajak) afrika kepada Marwan bin Hakam.
Utsman dituduh bersikap lemah dan penuh toleran terhadap para pejabat dari kalangan kerabatnya, sebaliknya ia dituduh bertindak keras dan kasar terhadap sebagian sahabat Nabi SAW. yang bukan kerabatnya. Ia menolak semua saran-saran dan nasehat para senior sahabat. Bahkan ia pernah memukul sebagian mereka, seperti ‘Ammar bin Yasir (57 SH-37 H/567-657 M) hingga ususnya pecah. Ia juga memukul Abdullah bin Mas’ud (28 SH-32 H/596-652 M), dan memutus tunjangannya. Ia juga mendeportasi Abu Dzar Al-Ghifari (w. 32 H/652 M) ke Rabdzah.
Demikian tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Khalifah Utsman. Namun bila kita amati terdapat sekian banyak keganjilan pada tuduhan-tuduhan tersebut, apalagi sampai berimplikasi pada lahirnya sebuah revolusi, perlawanan dan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Karena dari sekian banyak tuduhan tersebut adakalanya cacat secara substansial dan dalam segi riwayat sejarawan. Berikut keganjilan-keganjilan menyangkut tuduhan-tuduhan terhadap Utsman:
Walid bin ‘Uqbah, yang katanya diangkat Utsman karena
kekerabatannya. Realita bahwa, Walid bin ‘Uqbah telah memegang jabatan pada masa Khalifah
Umar. Tidak mungkin Umar yang dikenal dengan tipikal adil dan bijaksana,
mengangkat pejabat yang tidak cakap. Dan kasus Walid yang minum khamr dan
pernah menjadi imam shalat dalam keadaan mabuk. Seandainya kasus tersebut benar, justru membuktikan
bagi keadilan Khalifah Utsman dengan melakukan hukuman dera dan memberhentikan Walid
dari jabatan.
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah telah dinyatakan bertaubat
dari kemurtadannya. Utsman pun telah memintakan ampun Ibnu Abi Sarah kepada
Rosul SAW. dan beliau pun mengampuninya. Ia berperan aktif dalam beberapa Ekspansi militer Islam di Mesir
dan Afrika Utara. Ia juga diakui memiliki sikap-sikap terpuji, kecakapan dan jasa yang
signifikan. Kemudian Utsman mengangkatnya sebagai Gubernur Mesir mengganti Amr bin Al-Ash, karena dipandang
layak dan mampu
menjalankan tugas yang diembannya.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan telah menjabat Gubernur Damaskus pada
masa Khalifah Umar. Ia diakui memiliki kecakapan dan kemampuan manajerial yang
bagus. Kemampuan Mu’awiyah ini kelihatan, setelah daerah-daerah lain yang masuk
dalam wilayah Syam disatukan ke bawah otonomi kekuasaannya.
Tuduhan bahwa Utsman melakukan mismanajemen dalam mengelola
kekayaan negara, memprioritaskan dirinya dan keluarganya dalam memanfaatkan
kekayaan kaum muslimin, dan ia telah menguras harta baitul mal, adalah tuduhan
yang perlu pembuktian. Karena Utsman sendiri dikenal dengan karakter murah hati
dan dermawan sejak sebelum dan setelah menjadi Khalifah. Ia membantu
keluarganya dari kekayaan pribadinya, bukan dari kas negara. Bahkan khalifah
‘Utsman tidak mengambil gaji yang
merupakan haknya. Pada saat menjabat khalifah, dia justru jatuh mislin.[2]
Sedangkan pengangkatan Marwan bin Hakam sebagi kepercayaan
pribadi Utsman dengan jabatan Sekretaris Negara, karena dari segi kepribadian, Marwan
dikenal sebagai orang yang adil dan berdasarkan kesaksian kalangan sahabat, tabi’in
dan fuqoha’ kaum muslimin. Memang benar Marwan melakukan kesalahan-kesalahan
yang mungkin menjadi bagian diantara sebab-sebab terjadinya fitnah, namun yang
dilakukannya bukan atas dasar perintah dan persetujuan Khalifah Utsman, dan
sepengetahuannya.
Sedangkan kasus pendeportasian Abu Dzar ke Rabdzah, data
sejarah memang menyatakan ada. Akan tetapi bukan lantaran tindakan Utsman, melainkan inisiatif Abu
Dzar sendiri yang memilih menjauh dan melakukan uzlah ketika berbeda pendapat dengan
masyarakat. Selain itu Abu Dzar seorang
laki-laki yang saleh dan zuhud.
Beberapa kasus di atas termasuk bagian dari peristiwa politik
yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai justifikasi dan legimitasi bagi
terjadinya al-fitnah al-kubra serta kemelut politik yang mengantarkan pada
terbunuhnya Khalifah Utsman. Padahal dalam kesemuanya, Utsman tidaklah
bertindak melampaui batas ijtihad yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai Khalifah
menyangkut kebijakan yang dipandangnya maslahat bagi kaum Muslimin.
C. Latar
belakang al-fitnah al-kubro
Agaknya fitnah yang terjadi pada masa Utsman serta peristiwa
yang menyertainya lahir dari kondisi sosial dan sebagai implikasi dari arus
transformasi yang menginvasi Negara Islam pasca ekspansi militer Islam (futuhat
islamiyah) dan Islamnya masyarakat yang tidak memiliki ikatan dangan masa
kenabian.
Ketika Utsman berkuasa, kebijakan
politik Umar dianggap tidak kondusif untuk diterapkan. Utsman mengubah
kebijakan tersebut dengan memberi kebebasan kepada para sahabat untuk
berimigrasi keluar Madinah. Dampaknya justru mempercepat perubahan pola
kehidupan sosial menjadi terhanyut godaan dunia dan melahirkan friksi sosial.
Eskalasi perubahan tersebut dapat di lihat dengan adanya riwayat al-Hafizh ibnu
Jarir al-Thabrani dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Misalnya al-Imam ‘Amir
al-Sya’bi (17-104 H/637-723 M) berkata: “Pada akhir pemerintahan Umar,
kebijakan umar kurang disukai kaum Qraisy. Ia memblokir mereka dimadinah. Ia
berkata: “Yang paling aku takutkan pada umat ini, apa bila kalian tersebar di
berbagai daerah.” Apabila seorang laki-laki Quraisy dari qoum Muhajirin meminta
izin pergi berjihad, Umar akan berkata: “Peperangan yang kamu ikuti bersama
Rasulullah telah cukup bagimu, dari pada berperang hari ini. Kamu lebih baik
tidak mengenal dunia dan dunia tidak mengenalmu.”
Setelah Utsman berkuasa, mereka
mendapat kebebasan dan tersebar di berbagai daerah, sehingga menjadi tumpuan
masyarakat setempat. Karena itu, mereka sangat menyukai Utsman dari pada Umar.
Akhirnya masyarakat pun tergiur harapan dan angan-angan. Itulah awal kelemahan
dalam Islam dan fitnah yang pertama kali terjadi dikalangan umat. Kemudian
muncul uforia mengkritik dan menentang pejabat, mereka menuduh pejabat
sewenang-wenang dan berbuat kerusakan dan sebaliknya pejabat menuduh rakyat
telah membangkang.
Kondisi inilah dimanfatkan oleh
orang-orang yang punya ambisi kekuasaan dan punya dendam pribadi kepada
Khalifah atau pejabat. Nama-nama yang mendalangi fitnah tersebut diantaranya:
- Malik bin Harits al-Asytar dan Muhammad bin Abi Hudzayfah, keduanya memiliki ambisi kekuasaan.
- Ghafiqi bin Harb Al-‘Akki, Kinanah bin Bisyr al-Tujibi, Saudan bin Humran, Hukaim bin Jabalah al-‘Abdi dan Amr bin Badil bin Warqa’ al-Khuza’i. mereka adalah orang-orang yang mempunyai akidah menyimpang, kurang agamis dan mendahulukan dunia dari pada akhirat.
Sedangkan aktor utama penyebar fitnah
adalah Abdullah bin Saba’ laki-laki
Yahudi yang masuk Islam di masa Khalifah Utsman. Ia mulai menyebarkan sebagian
akidah sesat yang diadopsi dari ajaran Yahudi, seperti ajaran raj’ah
(kebangkitan sebelum hari kiamat) para Nabi dan para washi. Menurutnya setiap
nabi mempunyai washi dan washinya Muhammad adalah ‘Ali. Setelah berhasil,
Abdullah bin Saba’ menyebarkan sikap anti Utsman dengan mencemarkan nama baik
Khalifah Utsman dan bahwa Utsman mengambil ‘Alih kekuasaan (Khalifah) dengan
sewenang-wenang.
Demikianlah eskalasi fitnah tersebut
menjadi gawat dan unsure-unsurnya terdiri dari ‘Aliansi beberapa daerah dan
kota seperti Kufah, Mesir dan Basrah. Secara lahiriah Aspirasi mereka soal
pengaduan dan keluhan tentang ketidak adilan dan kesewenang-wenangan sebagian
pejabat. Namun dibalik itu mereka merencanakan kudeta terhadap pemerintah.
Setelah memperhatikan hal tersebut, Utsman berjanji akan memenuhi tuntutan dan
keluhan mereka. Dengan komitmen ini, situasi menjadi tenang terkendali. Akan
tetapi selang beberapa saat masa kembali ke Madinah dengan dakwaan Utsman telah
membatalkan perjanjian dan komitmennya. Ia telah mengirim surat rahasia kepada
Gubernur Mesir dan mengintruksikan agar menindak para penuntut sepulang dari
Madinah.
Walaupun Utsman menegaskan dan
bersumpah tidak punya hubungan dan tidak tahu menahu tentang surat rahasia itu.
Mereka tetap menuntut Utsman mundur atau menyerahkan Marwan bin Hakam yang dituduh
menulis surat rahasia itu, atau berhenti secara paksa. Keduanya ditolak Utsman,
sebagian sahabat juga mendukungnya agar tidak mengundurkan diri sehingga
nantinya menjadi tradisi, dimana setiap masa membenci pemimpinnya, maka akan
menuntut mundur.
Selanjutnya posisi Utsman hanya
menghadapi pemberontak yang semakin ketat memblokir kediamannya sampai mencegah
masuknya air minum. Sebenarnya beberapa sahabat telah siap melindungi dan
membela Utsman, namun Utsman memerintahkan untuk membubarkan diri lantaran
tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Pada akhirnya masa memanfaatkan memasuki
rumah beliau dan membunuhnya di siang hari pada 35 H/ 656 M dalam usia 82 tahun.
D. Khalifah
‘Ali dan perang jamal
Setelah Khalifah Utsman wafat, telah membuka pintu fitnah,
sedangkan pengangkatan Khalifah ‘Ali RA belum menciptakan suasana yang aman,
meskipun Khalifah ‘Ali dipilih kaum muslimin namun ada pihak lain yang kurang
setuju atas pengangkatanya yaitu Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah beralasan atas
pengangkatan ‘Ali karena Khalifah Utsman dibunuh secara dholim dan belum di
qisos pembunuhnya.
Sementara itu golongan lain dari sahabat yang di pimpin Ummul
Mu’minin ‘Aisyah, Tholhah bin Ubaidillah dan Al-Zubair bin Al-Awwam melawan Khalifah
‘Ali, mereka berpendapat bahwa qisos harus segera ditegakkan terhadap para
pembunuh Utsman. Ummul mu’minin ‘Aisyah
dan golongan lainya memprotes sikap ‘Ali yang membiarkan pembunuh Utsman belum
di qisos.
Khalifah ‘Ali memberikan penjelasan pada mereka, bahwa ia
tidak terlibat dan tidak memberi masukan dalam pembunuhan Utsman, ‘Ali berusaha
membujuk Ummul Mu’minin ‘Aisyah, tholhah dan Al-Zubair agar memberikan dukungan
kepada dirinya dan sebagai satu-satunya pimpinan, dan situasi negara aman dan
situasi lebih kondusif. Sehingga dapat menangkap pembunuh Utsman. Khalifah ‘Ali
mengirim delegasi seorang sahabat yang genius Al-Qa’qa’ bin Amr Al-Tamimi (w 40
H/660 M) yang akhirnya berhasil membujuk ‘Aisyah dan kelompoknya untuk berdamai
dan membuat kesepakatan atas rencana ‘Ali.
Setelah terjadi penjelasan akhirnya salah faham itu telah
berakhir. ‘Ali merasa bahagia dengan perdamaian tersebut, akan tetapi setelah
beberapa saat ada embriou pengacau yang ada diantara kelompok ‘Ali. Mereka
tidak suka dengan adanya kesepakatan yang dicapai oleh ‘Ali dan kelompok
‘Aisyah untuk melakukan qisos terhadap pembunuh Utsman, dan juga dari kelompok
‘Aisyah seorang yang tidak menginginkan suasana kondusif atas terciptanya
perdamaian, karena itu mereka menciptakan api pepecahan. Sehingga pada saat
orang menikmati perdamaian, tiba-tiba kekacauan antara kelompok ‘Aisyah dan
‘Ali bergejolak ketika waktu menjelang pagi pada malam kedua terjadi
kesepakatan. Akhirnya masing-masing kelompok menuduh bahwa pihak lawan telah
mengkhianati kesepakatan sehingga peperangan tidak dapat dihindari, perang ini
terjadi pada 36 H (567 M) tanggal 9 Desember.
Perang ini terjadi di basrah, yang dikenal dengan perang
Jamal. Dinamakan demikian, karena ‘Aisyah yang memimpin pasukan menunggang
unta.
Dalam perang ini, kemenangan ada di pihak Khalifah ‘Ali.
Tholhah dan zubair terbunuh dan ‘Aisyah ditawan akan tetapi ia tidak
diperlakukan oleh ‘Ali sebagai tawanan, melainkan dihormati dan dimuliakan,
lalu dipulangkan ke Mekkah, serta dinasehatinya agar dia tidak lagi mencampuri
politik negara.[3]
E. Perang
siffin
Perang jamal telah usai, dengan kemenangan dibawah kelompok
‘Ali, tetapi kekahalifahan belum aman dan setabil, ‘Ali masih belum lega karena
memfokuskan untuk memerangi Mu’awiyah, yang memiliki kekuatan solid, Mu’awiyah
mengajukan permintaan pada ‘Ali agar menyerahkan para pembunuh Utsman sebagai
syarat bagi setiap tawaran kesepakatan. Kemudian Mu’awiyah tidak mau mengikuti
pengangkatan, dan Mu’awiyah tidak mau diajak berdamai oleh ‘Ali, Perlawanan ini
menyebabkan pecahnya perang Siffin pada 37 H/ 657 M. Semula peperangan ini
dimenangkan pihak ‘Ali dibawah pimpinan Malik al-Astar[4],
namun Amr bin Al ’Ash mengusulkan pasukan Mu’awiyah agar melakukan tipu
muslihat dengan mengangkat Al-Qur’an di atas ujung tombak, dan mengajak
kelompok ‘Ali kembali pada Al-Qur’an. Mayoritas kelompok ‘Ali tertipu
dengan muslihat tersebut, meskipun ‘Ali sudah menasehati supaya bersabar dan
melajutkan peperangan serta tidak terkecoh oleh rekayasa politik kelompok
Mu’awiyah.
Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar
Al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) berkata: “Hampir saja pasukan Syam
menderita kekalahan. Akan tetapi kemudian mereka mengangkat Mushhaf al-Qur’an
di ujung tombak sambil berseru kepada kelompok ‘Ali: “Kami mengajak kalian
kembali pada kitab Allah.” Akhirnya pasukan ‘Ali, terutama dari kalangan qurra’,
meninggalkan peperangan. Lalu diantara mereka saling mengirimkan delegasi juru
damai dan siapa yang menurut mereka benar maka harus di ikuti. ‘Ali terpaksa
menerima proses arbitrase dan menerima Abu Musa al-Asy’ari (21 SH-44 H/602-665
M) sebagai perwakilannya. Itulah awal genjatan senjata antara kedua belah
fihak.
Pada saat itu juga dari pasukan ‘Ali muncul
kelompok aksi menolak terhadap genjatan senjata dan menganggapnya melanggar
hokum Al-Quran. Kelompok ini jumlahnya sangat signifikan dan keluar dari
kelompok ‘Ali,
dikemudian hari disebut kaum Khawarij. Mereka berpendapat ‘Ali dan mereka
yang menerima genjatan senjata telah melanggar perintah Allah. Kaum khawrij selalu berusaha
merebut massa Islam dari pengikut ‘Ali, Mu’awiyah dan ‘Amr sebab mereka yakin
bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber pergolakan-pergolakan, sehingga
mereka bertekad untuk membunuhnya. Pada tanggal 20 Romadlon 40 H (660 M) salah
seorang Khawarij berhasil membunuh ‘Ali di Masjid Kufah.[5]
KESIMPULAN
- Berdasarkan kesepakatan para pakar, motif utama terjadinya perpecahan dikalangan umat Islam adalah berangkat dari ranah politik, yaitu soal kholifah atau suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.Khalifah Utsman mendapatkan tuduhan-tuduhan yang merupakan bagian dari peristiwa politik yang dinilai sebagai justifikasi dan legimitasi bagi terjadinya al-fitnah al-kubra serta kemelut politik yang mengantarkan pada terbunuhnya Khalifah Utsman.
- Panasnya fitnah yang membara pada masa kholifah utsman dinyalakan, direncanakan kelompok-kelompok yang punya ambisi pribadi dan idiologi subyektif.
- Perang Jamal terjadi antara Kelompok ‘Ali dan Kelompok ‘Aisyah, terciptanya api perpecahan disebabkan atas terbunuhnya Utsman. Perang ini terjadi 36 H yang dimenangkan oleh kelompok Khalifah ‘Ali.
- Perang Siffin adalah perang antara kelompok ‘Ali dan kelompok Mu'awiyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Idrus Romli, Muhammad. Pengantar
sejarah Ahlus Sunah Wal jama’ah
Risalah Ahlus
Sunah Wal Jama’ah, Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tarikh Islam untuk kelas 1, KMI Pondok Moderen Darusalam
Gontor
Chairul Rofiq, Ahmad. Sejarah
Peradapan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press , 2009
Djuhan,
Wida. Sejarah Peradapan Islam. Ponorogo: STAIN, 2008
[1] Chairul Rofiq,
Ahmad. Sejarah Peradapan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press , 2009.
Hal 95
[2] Chairul Rofiq,
Ahmad. Sejarah Peradapan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press , 2009.
Hal 99
[3] Tarikh Islam
untuk kelas 1 . KMI Pondok Moderen Darusalam Gontor
[4] Chairul Rofiq,
Ahmad. Sejarah Peradapan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press , 2009.
Hal 101
[5] Chairul Rofiq,
Ahmad. Sejarah Peradapan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press , 2009.
Hal 116
Disusun Oleh:
1. Muqorobin
2. Sarwono
3. Sugiono
4. Ni’matuz
Zahrah
Kalau ranahnya adalah ranah politik, maka pada ustman dan ali terdapat kelompok2 atau orang2 yang bernafsu merebut kekuasaan atau menjadi pemimpin, di atas juga disebutkan bahwa ada kelompok pengacau baik itu dalam perang jamal yang hampir damai kemudian dikacaukan oleh org2 atau kelompok tertentu, yang jadi pertanyaan siapa itu dan siapa mereka itu? kalau benang merah ini tidak bisa ditemukan, makanya sampai saat ini ummat terus berada dalam kebingungan, karena tidak ada yang berani mengungkapkan fakta kebenaran, sehingga setelah sekian lama timbulah lagi fitnah-fitnah, hujjah2, cerita2 bahkan hadis2 yang diragukan kebenarannya, satu kelompok menunuh atau kelompok lain palsu, sehingga ummat bingung harus berpedoman kepada kelompok mana?ada lagi muncul dalil bahwa kita tidak boleh berpedoman kepada satu imam madzhab karena imam madzhab itu juga manusia biasa yang bisa juga salah dalam berpendapat, sehingga hadirlah kelompok yang menamakan diri tadjidul islam (pembaharu islam), kelompok ini beranggapan bahwa ummat Islam ini sudah jauh melenceng dari al-qur'an sunnah rasulullah sehingga harus diluruskan atau dikembalikan kepada ajaran islam yang murni, bersih dari bid'ah2, khurafat2, tahayul2 sehingga berdasarkan pendapat itu terjadilah revolusi Islam di mekkah dengan membunuh muslimin dan muslimat yang dianggap telah sesat, sesat berarti kafir, kafir berarti wajib dibunuh, penyebabnya aalah kuburan2 orang2 shaleh seperti sahabat nabi, keluarga nabi dan keturunannya, bahkan kuburan nabi pun diratakan dengan tanah supaya tidak ada lagi orang2 yang berziarah dan berdo'a di sana, apakah ini politik islam?sungguh besar fitnah2 itu sehingga sampai saat sekarang ini ummat semakin jauh melenceng dari khittah yang haq dan mengikuti kepada khittah yang bathil, semoga allah memberi petunjuk dan bukti yang nyata, mana yang haq dan mana yang bathil, sehingga kita selamat dari kesasatan, amin.
BalasHapusCape deh ...
BalasHapusTerus gimana nasib para sahabat yg tega saling bunuh membunuh sesama sahabat masuk ke sorga apa gak? Trus aisyah istri tercinta saw udah pasti neraka dong!! Sbab asal muasal terjadinya perang saudara tuduhan kafir kepada ustman dari mulut aisyah kan? CAPE DECH.
Hapus