Sobat
khoir, sebelumnya kami telah posting artikel tentang Ilmu Shorof, yaitu Masdardan Lafadz Yang Mustaq Dari Masdar. Berikut ini ilmu sorof. Bab Keenam yaitu Fi’il Madli mabni ma’lum dan majhul, dan Hamzah washol sertaruang lingkupnya.
Harapan kami semoga bab ini dapat mempermudah pemahaman kami dan juga bagi
pembaca semua. Namun sebelumnya kami mohon maaf bila dalam penyusunannya masih
terdapat banyak kekurangan, karena kami juga masih dalam tahap belajar. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan.
A. Pengertian Fi’il Madli
اَلْفِعْلُ
الْمَضِى هُوَ مَا دَلَّ عَلَى مَعْنَى فِى نَفْسِهِ مَقْرُنٍ بِالزَّمَانِ
الْمَاضِي
Artinya: “Fi’il Madli ialah kalimat yang menunjukkan makna yang
bersamaan dengan masa yang telah lampau .”
Menurut
sebagian ulama’ mendefinisikan fi’il madli sebagi berikut:
اَلْفِعْلُ
الْمَضِى هُوَ مَا دَلَّ بِالوَضْعِ عَلَى حُصُولِ الشَّيْء قَبْلَ اْلإِخْبَارِ
Artinya:
“Fi’il Madli ialah kalimat yang menunjukkan atas hasilnya suatu pekerjaan sebelum
dikhabarkan secara wadlo’.”
Seperti contoh: كَتَبَ
زَيْدٌ(zaid sudah
menulis). Sebelum lafadz ini diungkapkan, pekerjaan menulis sudah
berhasil/selesai.
Pengertian
wadho’ disini ialah:
اَلْوَضْعُ
هُوَ تَعْيِيْنُ الشَّيْئِ لَفْظًا اَوْ غَيْرَهُ لِدِلاَلَةِ شَيْئٍ اَخَرَ
بِحَيْثُ يَدُلُّ عِنْدَ اْلإِطْلاَقِ عَلَيْهِ
Artinya:
“wadho’ adalah menentukan, baik itu berupa lafadz atau yang lain untuk
menunjukkan sesuatau yang lain, sekira lafadz atau yang lain itu ketika
diucapkan langsung menunjukkan sesuatu yang lain tersebut.”
Atau sebagian
ulama’ dalam kitab al Qowa’id as shorfiyah memberi definisi wadlo’ yaitu
menjadikan suatu lafadz untuk menunjukkan makna.
1.
Hukum Fi’il
Madli
Adapun hukum fi’il madli adalah mabni,
dengan perincian sebagai berikut:
-
Mabni fathah.
Secara mutlak, baik fi’il tsulasi, ruba’i mujarrod atau mazid, baik fi’il lazim
atau muta’adi, baik binak shohih atau yang lain jika tidak bertemu dengan
dlomir mutaharik rofi’. Contoh: ضَرَبَ،
تَكَثَّرَ، اِسْتَغْفَرَ semua lafadz
tersebut adalah fi’il madli dengan huruf akhir mabni (dibaca) fathah karena
tidak bertemu dengan wawu jama’ atau dlomir mutaharik rofi’. Fathah terpilih
sebagai mabni fi’il madli karena fathah adalah saudara sukun, karena fathah itu
jus/bagian alif, sedangkan alif audara sukun (sama-sama mati).
-
Mabni dlommah.
Hal ini jika bertemu dengan wawu jama’, contoh: نَصَرُوْا
dalam lafadz tersebut mabni dlommah, karena dlommah satu jenis denga wawu,
maka pantaslah jika satu jenis dukumpulkan dengan tunggal jenisnya.
-
Mabni sukun.
Jika fi’il madli bertemu dengan domir mutaharik rofi’ (dlomir yang mahal fofa’
yang hidup seperti dlomir ta’ mutakalim, ta’ mukhottob atau lainnya), contoh: نَصَرْتُ
lafadz ini adalah fi’il madli yang huruf akhirnya disukun sebab bertemu
dlomir ta’ mutakalim. Adapun fi’il madli yang mabni sukun ketika bertemu dengan
dlomir mutaharik rofi’, karena untuk menghindari empat huruf hidup berjajar yang
dianggap berat.
2.
Pembagian Fi’il
Madli ditinjau dari segi makna
Fi’il madli jika dilihat dari segi
maknanya maka dibagi menjadi 2, yaitu:
-
Fi’il madli
mabni ma’lum.
-
Fi’il madli
mabni majhul/maf’ul.
Hal ini
karna fi’il madli itu menunjukkan arti hadas (pekerjaan) yang membutuhkan pada
musnad ilaih (lafadz yang disandari hukum) sedangkan dalam pennyandaran fi’il
madzi terkadang disandarkan pada fa’il dan juga terkadang pada maf’ul.
3.
Pengertian Fi’il
Madli Mabni Ma’lum
Para
ulama’ memberi pengertian pada fi’il yag mabni ma’lum/fa’il dengan 2
pengertian, yakni:
-
مَاكَانَ
اَوَّلُهُ مَفْتُوْحًا,
yaitu: setiap fi’il madli yang huruf pertamanya dibaca fathah, contoh: نَصَرَ
(menolong) pada lafadz ini huruf pertamanya yaitu nun berharokat fathah.
-
مَاكَانَ
اَوَّلُهُ مُتَحَرِّكٍ مِنْهُ مَفْتُوْحًا, yaitu: setiap fi’il madli yang huruf pertamanya huruf yang
berharokat (sekalipun bukan huruf awal) berupa harokat fathah, contoh: اِجْتَمَعَ
pada lafadz ini huruf pertama yang berharokat yaitu ta’ berharokat fathah,
di sini dianggap sebagai huruf pertama yang berharokat fathah karena fa’
fi’ilnya yang berupa jim disukun, sedangkan harokat yang berada pada hamzah
washol yang berupa kasroh tidak dianggap, karena harokat hamzah wasol ketika di
tengah kalimat digugurkan.
B.
Hamzah washol,
pembagian dan hukumnya.
1.
Pengertian
hamzah washol.
ثُبُتُهَا
فِي اْلاِبْتِدَا قَدْ الْتُزِمَ كَحَدْ
فِيْهَا فِي دَرْجِهَا مَعَ الْكَلِمِ
Artinya:
“Hamzah washol adalah hamzah yang tetap
terbaca diawal (permulaan) kalimat, dan tidak terbaca jika berada di
tengah-tengah kalimat ”
Contoh
sebagai berikut:
a.
Dipermulaan
kalimat اُنْصُرْ ظَالِمًا اَو مَظْلُوْمًا (tolonglah orang yang dholim atau
didholim).
b.
Ditengah kalimat
يَامُحَمَّدُ انْضُرْ وَانْصُرْ زَيْدًا (wahai muhammad, lihat dan tolonglah zaid).
2.
Pembagian hamzah
washol.
Hamzah washol itu terbagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a.
Sama’i, yakni
hamzah washol yang hanya berada pada lafadznya.
-
Lafadz ال . Adapun hamzah washol dalam lafadz ال baik berupa ال mausul, ma’rifah atau ال zaidah itu di baca fathah ialah karena banyak berlaku
di kalangan orang arab, namun menurut imam Kholil hamzah nya ال itu adalah hamzah Qotho’ dan di buang nya berada di
tengah kalimat itu karena banyak nya berlaku di kalangan orang arab yaitu
bertujuan untuk menolak berat nya bacaan, sebagaimana ال adalah ام menurut lughot
Yaman .
-
Lafadz ايمن . Lafadz ini khusus untuk Qosam (bersumpah) menurut
Ulama’Basroh hamzah nya adalah hamzah wasohol, sedangkan menurur Ulama’ Kuffah
adalah hamzah Qotho’ karena menurut Ulam’ Kuffah lafadz ايمن adalah jama’
dari lafadz يمين sedang menurut imam Sibaweh dan Ulam’
Basroh adalah isim mufrod dari lafadz يمن yang ber makna
Barokah.
Adapun hamzah
Washolnya lafadz ايمن di baca fathah
karena lafadz ايمن adalah jama’ dari lafadz يمين , maka jika di lihat dari asl peletakan nya hamzah adalah Qotho’ kemudian di jadikan
hamzah karena banyak berlaku , dengan
demikian hamzah tersebut tidak boleh di kasroh karena melihat asal peletakan
nya dan di fathah nya hamzah Qotho’ pada
asal itu karena berat nya hamzah Qotho’ dan fathah adl;ah lebih ringan nya harokat.
b.
Qiyasyi, yakni
hamzah yang berada pada fi’il amar dari fi’il tsulatsi mujarrod yang ‘ain fi’il
mudlorinya dibaca dlomah, contoh: اُكْتُبْ. Dan juga pada fi’il madli, masdar
dan fi’il dari fi’il khumasi dan sudasi, contoh: اِسْتَغْفَرَ,
اِسْتَغْفَارًا, اِسْتَغْفِرْ
3.
Hukum hamzah
washol. Hamzah washol tersebut di atas hukumnya harus
dibaca kasroh sebab melihat asal hamzah washol itu dari alif yang dihidupkan
sedang menghidupkan huruf yang mati itu dengan harokat kasroh. Kecuali bila ‘ain fi’ilnya dlomah maka dibaca
dlomah.
C.
Pengertian Fi’il
Madli Mabni Majhul dan cara membuatnya.
1.
Pengertian Fi’il
Madli Mabni Majhul
الْفِعْلُ
الْمَجْهُوْلِ مَالَمْ يُذْكَرُ فَاعِلُهُ فِى الْكَلاَمِ بَلْ كَانَ مَحْذُوفًا
لِغَرْضِ مِنْ اْلاَغْرَاضِ وَيَنُوْبُ عَنْ الْفَاعِلِ بَعْدَ حَذْفِهِ
الْمَفْعُوْلِ بِهِ
Artinya:
“Fi’il mabni majhul ialah kalimat yang
tidak disebutkan fa’ilnya dalam kalam, tetapi fa’il tersebut dibuang karena ada
tujuan tertentu dan setelah fa’il dibuang, maf’ul bih menggantikan kedudukan
fa’il (dalam menyandarkan fi’il pada maf’ul).”
Contoh: سُرِقَ
الْمَالُ asalnya سَرَقَ
زَيْدٌ الْمَالَ fa’il yang berupa lafadz زَيْدٌ dibuang karena
ada tujuan tertentu, kemudian maf’ul yang berupa lafadz الْمَالَ
menggantikan kedudukan fa’il dan diberi hukumnya fa’il termasuk dibaca
rofa’, kemudian fi’il dirubah bentuk (mabni maf’ul) untuk membedakan antara
fa’il yang asli dan fa’il pengganti (naibul fa’il).
2.
Cara Membuat
Fi’il Madli Mabni Majhul
Sesuai
dengan ketentuan di atas, yakni setelah membuang fa’il serta maf’ul
menggantikan tempat fa’il, maka terjadi keserupaan apakah fa’il itu yang asli
atau pengganti fa’il (naibul fa’il), maka dari itu untuk membedakannya fi’il tersebut dirubah
bentuknya yang kemudian disebut fi’il mabni majhul, adapun cara membuatnya
yaitu:
Untuk
fi’il madli yang akan dibuat menjadi mabni majhul secara garis besar dengan
ketentuan qoidah:
ضُمَّ
اَوَّلُهُ وَكُسِرَ مَ قَبْلَ اْلاَخِيْرِ
Artinya:
“Huruf pertama dibaca dlomah dan huruf
sebelum akhir dibaca kasroh”
Dengan
ketentuan sebagai berikut:
a.
Fi’il tsulatsi
dan ruba’i. Fi’il tsulatsi dan ruba’i ini jika akan dibuat menjadi mabni
majhul, maka caranya adalah dengan membaca dlommah huruf pertama dan membaca
kasroh huruf sebelum akhir, contoh: نُصِرَ
- نَصَرَ - فَعَلَ (ditolong), دُخْرِجَ
- دَخْرَجَ - فَعْلَلَ (digulingkan), اُكْرِمَ
- اَكْرَمَ - اَفْعَلَ (dimuliakan).
Kecuali jika berupa fi’il tsulatsi mujarrod dari fi’il binak mu’tal ‘ain baik
yang berupa wawu atau ya’, maka ketika akan dibuat menjadi mabni majhul maka
fi’ilnya boleh dibaca tiga wajah, yaitu:
-
Murni dibaca
kasroh, ini merupakan lughot yang paling fasyih karena tidak ada unsur berat
sama sekali, contoh: ‘ain fi’il berupa wawu seperti lafadz yang قِيْلَ
asalnya قُوِلَ
harokat wawu berupa kasroh dipindah pada huruf sebelumnya, maka menjadi قِوْلَ kemudian wawu
diganti ya’ karena wawu tadi mati dan huruf sebelumnya kasroh, maka menjadi قِيْلَ. ‘ain fi’il berupa ya’ seperti
lafadz yang بِيْعَ asalnya بُيِعَ harokat ya’
berupa kasroh dipindah pada huruf sebelumnya, maka menjadi بِيْعَ
-
Murni dibaca
dlommah, ini merupaka lughot yang lemah. Menurut bahasa bani dubair dan bani
fuq’as yang merupakan paling fasyihnya bani ‘asad, dan termasuk lughot yang
paling lemah karena beratnya dlomah berkumpul dengan wawu, contoh: قُوْلَ
dan بُوْعَ
-
Dibaca isymam,
yaitu mengucapkan fa’ fi’il dengan harokat antara dlomah dan kasroh, ini
merupakan lughot yang fasyih karena masih terhitung ringan akan tetapi bukan
yang afshoh (paling fasyih) dikarenakan masih ada isymam. Sedangkan pengucapan
harokat antara dlomah dan kasroh tidak bisa tampak dalam tulisan, tetapi bisa
wujud dalam ucapan. Menurut imam alawi caranya adalah mengucapkan juz dari
harokat kasroh yang banyak dan suaranya murni suara ya’, contoh: قِيْلَ
dan بِيْعَ
b.
Fi’il madli yang
diawali dengan ta’ tambahan, jika akan dibuat menjadi mabni majhul, maka huruf
pertama dan keduan dibaca dlomah, dan huruf sebelum akhir dibaca kasroh,
contoh: تُكُسِّرَ - تَكَسَّرَ - تَفَعَلَ, تُبُوْعِدَ
- تَبَاعَدَ - تَفَاعَلَ.
c.
Fi’il yang
dimulai hamzah washol, jika akan dibuat
menjadi mabni majhul, maka huruf yang pertama dan yang ketiga dibaca dlomah
serta huruf sebelum akhir dibaca kasroh, contoh: اُمْتُحِنَ
- اِمْتَحَنَ - اِفْتَعَلَ,
اُنْكُسِرَ - اِنْكَسَرَ - اِنْفَعَلَ, اُسْتُحْلِى
- اِسْتَحْلَى - اِسْتَفْعَلَ.
SUMBER
Anwar, Moch., Ilmu Sharaf /
KH. Moch. Anwar, Bandung: Sinar Biru Algensindo, 1996
Midkhol Syanwani al roziah, Al-maqoshid ash-shorfiyyah, Jombang: Darul Hikmah 2009
Hamid Abdul Manaf, Pengantar
Ilmu Shorof, Nganjuk: Fathul Mubtadiin, 1993
Bahauddin Syech A, Syarah Ibnu ‘Aqil
DISUSUN
OLEH:
Sarwono,
dkk. PBA Madin INSURI Ponorogo
<<= Bab sebelumnya Bab selanjutnya =>>
Artikel Terkait
- Fi’il Tsulatsy Mujarrad dan ruang lingkupnya
- Fi’il Tsulatsy Mazid dan ruang lingkupnya
- Fi’il Ruba’i Mujarrod dan Mulhaq serta ruang lingkupnya
- Fi’il Ruba’i Mazid dan ruang lingkupnya
- Masdardan Lafadz Yang Mustaq Dari Masdar
- Bentuk Fi’il Mudlori’ mabni ma’lum dan majhul
- Bentuk Fiil Amar Hadlir, Isim Fail, Sifat Musabbahat, Isim Maf’ul dan Isim Mubalaghoh
- Tashrif lughowidan lafadz bina' shohih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar