Senin, 12 November 2012

Pemikiran Filsafat

Orang mengatakan bahwa filsafat “tidak membuat roti”. Ucapan ini sepenuhnya benar. Filsafat tidak memberi petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi, juga tidak melukiskan teknik-teknik baru untuk membuat bom atom. Sebenarnya jika didalam filsafat anda mencari jawaban yang terakhir terhadap persoalan yang hadapi seseorang, yakni jawaban yang disepakati oleh semua filsuf sebagai hal yang benar, maka seseorang akan kecewa dan bersedih hati. Setelah lama mempelajarinya, ia dapat mulai menyusun suatu sistem filsafat yang didalamnya ia dapat menempatkan persoalan-persoalan yang dihadapi dan memberikan jawaban-jawaban yang kiranya sah. Ia pun juga menjadi terbiasa mengadakan penalaran-penalaran secara tetap, dan memurnikan pikiran-pikiran secara tetap pula, sehingga ia akan siap mendapati bahwa penyelesaiannya sering tidak memadai dan bersifat sementara, serta tidak diterima oleh banyak orang.


Filsafat membawanya kepada pemahaman dan tindakan. Meskipun filsafat “tidak membuat roti”, namun filsafat dapat menyiapakan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa tujuan filsafat mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu didalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawanya kepada pemahaman, dan pemahaman membawanya kepada tindakan yang lebih layak.
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi ?
2.      Hal-hal yang berkaitan dengan Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi ?
B.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi
2.      Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi.
1.      Epistimologi
Epistimologi berasal dari bahasa yunani yaitu episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (pengertian informasi). Dapat dikatakan pengetahuan tentang ilmu pengetahuan adakalanya disebut teori pengetahuan.
Epistimologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahun yang dimiliki.[1] Selain itu epistimologi juga mengandung arti cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[2]
2.       Ontologi
Ontology inggris Ontology berasal dari bahasa Yunani On, Ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Menurut filsuf, Christian Wolff mendefinisikan ontologi sebagai ilmu tentang yang ada pada umumnya, dan menggunakan “filsafat pertama” sebagai sinonimnya. Metodenya deduktif dan tujuannya ialah terciptanya suatu sitem keberadaan yang niscaya dan pasti. [3]
B.     Hal-hal yang berkaitan dengan Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi
1.      Epistimologi
Objek telaah epistimologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan yang lain, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta mengenai suatu hal.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistimologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan /logika etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.[4] 
Ada beberapa sumber-sumber untuk pengetahuan, yaitu:
a.      Empirisme
Seorang empirisme biasanya berpendirian bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat dari seseorang yang memperhatikan pertanyaan: ”bagaimana orang mengetahui bahwa es itu membeku?”.  Dia  pasti akan menjawab: “karena saya mmelihatnya seperti itu”. Secara demikian ada, dapat dibedakan dua macam unsur “yang mengetahui dn yang diketahui”. Orang yang mengetahui merupakan subjek yang memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan suatu perkataan yang menunjukkan seseorang/kemampuan.
b.      Rasionalisme
Sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman melainkan pengalaman paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesetan terletak didalam ide kita bukan didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada didalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c.       Fenomenalisme Ajaran Kant
Seorang ilmuwan akan mengatakan bahwa kedua syarat itu harus dipenuhi sebelum kita mengatakan kuman tersebut menyebabkan demam, karena seseorang ‘pembawa kuman tipus’ tentu mengandung kuman tersebut, namun mungkin tidak menderita menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit itu. Ditinjau dari sudut empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya, tetapi Kant berpendapat bahwa sebab akibat tentu merupakan hubungan yang bersifat niscaya.
Indra hanya dapat memberikan data indra, dan data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Kita mempunyai pengalaman, tetapi sama benarnya bahwa untuk mempunyai pengetahuan kita harus keluar dari atau menembus pengalaman. Kata Kant, jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah bahwa dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman melainkan ditambahkan pada pengalaman.
d.      Instusionisme
Instusionisme adalah batas-batas pengetahuan yang ditentukan oleh jenis-jens alat yang kita gunakan untuk memperoleh pengetahuan.
e.       Metode ilmiah
Metode ilmiah adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang menggabungkan pengalaman dan akal sebagai pendekatan pertama dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai penyelesaian yang disarankan. [5]
2.       Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontology membahas tentang yang ada secara universal yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya (Noeng Muhadjir).
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran ontologi ini adalah apa objek yang ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana pula hubungan objek tersebut dengan daya pikir dan penangkapan manusia. [6]
Ada beberapa istilah dalam bidang ontologi, antara lain:
a.      Yang ada (being) dan yang tiada (non being)
Yang ada merupakan predikat universal, dalam arti bahwa yang ada merupakan predikat dari setiap satuan yang mungkin ada. Misalnya: bangku harus memiliki sifat ada.
Yang tiada merupakan istilah yang mengandung makna dan tidak kepada apapun. Memikirkan istilah yang tiada  berarati memberikan sifat “yang ada” kepada istilahnya, tetapi tidak member sifat “yang ada” kepada sesuatu yang dianggap ditujukan oleh istilah tersebut. Disatu pihak dikatakan bahwa “yang tiada” merupakan himpunan tanpa anggota sama sekali dan di lain pihak dikatakan bahwa himpunan tersebut beranggotakan hal-hal yang ada dalam kemungkinan.
b.      Kenyataan dan kenampakan
Yang nyata pasti ada, dibedakan antara yang sungguh ada dengan yang mungkin ada, juga yang nyata ada dengan yang nampak ada atau tidak nyata. Hendaknya diingat, apapun yang bersifat antara, pasti ada. Tetapi sesuatu yang dalam kemungkinan ada kiranya sulit untuk dikatakan nyata, namun kadang-kadang kita cenderung menyatakan bahwa yang mungkin ada bersifat nyata. Perbedaan yang nampak nyata ada yang yang bersifat tidak nyata.
Kenampakan sebagai kenampakan adalah bersifat nyata, sedangkan barangnya sendiri yang tampak demikian itulah yang tidak nyata. Misalnya: yang menggambarkan ada seseorang yang mengira bahwa ia melihat gajah berwarna jingga. Ilusinya itu sendiri bersifat nyata, karena membawa pengaruh tertentu terhadap pola tingkah laku orang yang bersangkutan,  tetapi barangnya yaitu gajah  yang berwarna jingga itulah yang tiada nyata.
c.       Eksistensi dan non eksistensi
Eksistensi merupakan himpunan yang terdiri dari satuan-satuan yang jika nama-namanya digunakan sebagai pengganti x dalam ungkapan x bereksistensi, menghasilkan pernyataan yang benar. Setiap satuan dalam himpunan eksistensi dinamakan “yang berseksistensi (existent)”
Non eksistensi terdiri dari anggota-anggota yang beraneka ragam coraknya. Misalnya: anda mengatakan “ya, warna memang bereksistensi,” dan kemudian saya menjawab “anda keliru, warna tidak bereksistensi.” Bagaimanakah cara anda membuktikan kebenaran ucapan anda? Pada umumnya anda berkata, “lihatlah, kan ada warna dibuku itu, seraya menunjuk pada  buku tersebut, namun anda tidak akan pernah dapat menunjukkan warna, melainkan benda-benda yang berwarna tertentu.” Jika anda mengatakan melihat warna, maka sebenarnya bahwa anda mengatakan melihat barang sesuatu dalam ruang dan waktu tertentu yang mempunyai kualitas, yaitu suatu warna tertentu.
SIMPULAN
1.      Filsafat membawa manusia kepada pemahaman dan tindakan
2.      Masalah epistimologi bersangkutkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. 
3.      Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno.
4.      Aksiologi: pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan.
5.      Globalisasi: suatu perubahan social dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara manusia dengan factor-faktor yang terjadi akibat perkembangnan teknologi modern.
SUMBER
Kattosoff, Lovis O. Pengantar Filsafat, Penerjemah: Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya), 2004, Cet. IX
Kencana, Inu, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama), 2004, Cet. I
Rossidy, Imam, Filsafat Sains dalam Al-Quran, (Malang: UIN Malang Press), 2007
Suryasumantri, Jujun. S, Filsafat Ilmu: sebuah pengantar populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 2003
Verhaak, C, Filsafat Ilmu Pengetahuan: telaah atas cara kerja ilmu-ilmu, (Jakarta: Gramedia), 1991
DISUSUN OLEH:
M. Hadhiq Maftuhin, Nanik Zubaidah, Sarwono.
PBA Madin INSURI Ponorogo




[1]               C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan: telaah atas cara kerja ilmu-ilmu, (Jakarta: Gramedia), 1991, 137
[2]               Lovis O. Kattosoff, Pengantar Filsafat, Penerjemah: Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya), 2004, Cet. IX, 74
[3]               H. Imam Rossidy, Filsafat Sains dalam Al-Quran, (Malang: UIN Malang Press), 2007
[4]               Inu Kencana, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama), 2004, Cet. I 10
[5]               Op. Cit, Lovis O. Kattosoff, 132-142
[6]               Ibid, Inu Kencana, 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar