Orang mengatakan
bahwa filsafat “tidak membuat roti”. Ucapan ini sepenuhnya benar. Filsafat
tidak memberi petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi,
juga tidak melukiskan teknik-teknik baru untuk membuat bom atom. Sebenarnya
jika didalam filsafat anda mencari jawaban yang terakhir terhadap persoalan
yang hadapi seseorang, yakni jawaban yang disepakati oleh semua filsuf sebagai
hal yang benar, maka seseorang akan kecewa dan bersedih hati. Setelah lama
mempelajarinya, ia dapat mulai menyusun suatu sistem filsafat yang didalamnya
ia dapat menempatkan persoalan-persoalan yang dihadapi dan memberikan
jawaban-jawaban yang kiranya sah. Ia pun juga menjadi terbiasa mengadakan penalaran-penalaran
secara tetap, dan memurnikan pikiran-pikiran secara tetap pula, sehingga ia
akan siap mendapati bahwa penyelesaiannya sering tidak memadai dan bersifat
sementara, serta tidak diterima oleh banyak orang.
Filsafat membawanya kepada pemahaman dan tindakan. Meskipun filsafat “tidak membuat roti”, namun filsafat dapat menyiapakan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa tujuan filsafat mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu didalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawanya kepada pemahaman, dan pemahaman membawanya kepada tindakan yang lebih layak.
A. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi ?
2.
Hal-hal yang berkaitan dengan Epistimologi, Ontologi, Aksiologi,
dan Globalisasi ?
B. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan
Globalisasi
2.
Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Epistimologi,
Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistimologi, Ontologi, Aksiologi,
dan Globalisasi.
1.
Epistimologi
Epistimologi
berasal dari bahasa yunani yaitu episteme
(pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos
(pengertian informasi). Dapat dikatakan pengetahuan tentang ilmu pengetahuan
adakalanya disebut teori pengetahuan.
Epistimologi
atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat
dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahun yang dimiliki.[1] Selain itu epistimologi
juga mengandung arti cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan,
metode-metode dan sahnya pengetahuan.[2]
2.
Ontologi
Ontology
inggris Ontology berasal dari bahasa Yunani On, Ontos (ada, keberadaan) dan
logos (studi, ilmu tentang). Menurut filsuf, Christian Wolff mendefinisikan
ontologi sebagai ilmu tentang yang ada pada umumnya, dan menggunakan “filsafat
pertama” sebagai sinonimnya. Metodenya deduktif dan tujuannya ialah terciptanya
suatu sitem keberadaan yang niscaya dan pasti. [3]
B.
Hal-hal yang
berkaitan dengan Epistimologi, Ontologi, Aksiologi, dan Globalisasi
1.
Epistimologi
Objek
telaah epistimologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan yang lain, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta mengenai suatu hal.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistimologi
adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan /logika etika,
estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan
moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan
seni dan kebaikan moral.[4]
Ada
beberapa sumber-sumber untuk pengetahuan, yaitu:
a. Empirisme
Seorang empirisme
biasanya berpendirian bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu melalui
pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat dari seseorang
yang memperhatikan pertanyaan: ”bagaimana orang mengetahui bahwa es itu
membeku?”. Dia pasti akan menjawab: “karena saya mmelihatnya
seperti itu”. Secara demikian ada, dapat dibedakan dua macam unsur “yang
mengetahui dn yang diketahui”. Orang yang mengetahui merupakan subjek yang
memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan suatu perkataan yang menunjukkan
seseorang/kemampuan.
b. Rasionalisme
Sumber pengetahuan
terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman
melainkan pengalaman paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesetan terletak didalam
ide kita bukan didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran
hanya dapat ada didalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi
saja.
c. Fenomenalisme Ajaran Kant
Seorang ilmuwan akan
mengatakan bahwa kedua syarat itu harus dipenuhi sebelum kita mengatakan kuman
tersebut menyebabkan demam, karena seseorang ‘pembawa kuman tipus’ tentu
mengandung kuman tersebut, namun mungkin tidak menderita menderita demam.
Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut
dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit itu. Ditinjau dari sudut
empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab akibat sebagai
suatu hubungan yang bersifat niscaya, tetapi Kant berpendapat bahwa sebab akibat
tentu merupakan hubungan yang bersifat niscaya.
Indra hanya dapat
memberikan data indra, dan data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan
sebagainya. Kita mempunyai pengalaman, tetapi sama benarnya bahwa untuk
mempunyai pengetahuan kita harus keluar dari atau menembus pengalaman. Kata
Kant, jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah
bahwa dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman
melainkan ditambahkan pada pengalaman.
d. Instusionisme
Instusionisme adalah
batas-batas pengetahuan yang ditentukan oleh jenis-jens alat yang kita gunakan
untuk memperoleh pengetahuan.
e. Metode ilmiah
Metode ilmiah adalah
suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang menggabungkan pengalaman dan
akal sebagai pendekatan pertama dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai
penyelesaian yang disarankan. [5]
2.
Ontologi
Objek
telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu,
ontology membahas tentang yang ada secara universal yaitu berusaha mencari inti
yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala kenyataan yang meliputi
segala realitas dalam semua bentuknya (Noeng Muhadjir).
Jadi
yang menjadi landasan dalam tataran ontologi ini adalah apa objek yang
ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana pula
hubungan objek tersebut dengan daya pikir dan penangkapan manusia. [6]
Ada
beberapa istilah dalam bidang ontologi, antara lain:
a. Yang ada (being) dan yang tiada (non being)
Yang ada merupakan
predikat universal, dalam arti bahwa yang ada merupakan predikat dari setiap
satuan yang mungkin ada. Misalnya: bangku harus memiliki sifat ada.
Yang tiada merupakan
istilah yang mengandung makna dan tidak kepada apapun. Memikirkan istilah yang
tiada berarati memberikan sifat “yang
ada” kepada istilahnya, tetapi tidak member sifat “yang ada” kepada sesuatu
yang dianggap ditujukan oleh istilah tersebut. Disatu pihak dikatakan bahwa
“yang tiada” merupakan himpunan tanpa anggota sama sekali dan di lain pihak
dikatakan bahwa himpunan tersebut beranggotakan hal-hal yang ada dalam
kemungkinan.
b. Kenyataan dan kenampakan
Yang nyata pasti
ada, dibedakan antara yang sungguh ada dengan yang mungkin ada, juga yang nyata
ada dengan yang nampak ada atau tidak nyata. Hendaknya diingat, apapun yang
bersifat antara, pasti ada. Tetapi sesuatu yang dalam kemungkinan ada kiranya
sulit untuk dikatakan nyata, namun kadang-kadang kita cenderung menyatakan
bahwa yang mungkin ada bersifat nyata. Perbedaan yang nampak nyata ada yang
yang bersifat tidak nyata.
Kenampakan sebagai
kenampakan adalah bersifat nyata, sedangkan barangnya sendiri yang tampak
demikian itulah yang tidak nyata. Misalnya: yang menggambarkan ada seseorang
yang mengira bahwa ia melihat gajah berwarna jingga. Ilusinya itu sendiri
bersifat nyata, karena membawa pengaruh tertentu terhadap pola tingkah laku
orang yang bersangkutan, tetapi
barangnya yaitu gajah yang berwarna
jingga itulah yang tiada nyata.
c. Eksistensi dan non eksistensi
Eksistensi merupakan
himpunan yang terdiri dari satuan-satuan yang jika nama-namanya digunakan
sebagai pengganti x dalam ungkapan x bereksistensi, menghasilkan pernyataan
yang benar. Setiap satuan dalam himpunan eksistensi dinamakan “yang
berseksistensi (existent)”
Non eksistensi
terdiri dari anggota-anggota yang beraneka ragam coraknya. Misalnya: anda
mengatakan “ya, warna memang bereksistensi,” dan kemudian saya menjawab “anda
keliru, warna tidak bereksistensi.” Bagaimanakah cara anda membuktikan
kebenaran ucapan anda? Pada umumnya anda berkata, “lihatlah, kan ada warna
dibuku itu, seraya menunjuk pada buku
tersebut, namun anda tidak akan pernah dapat menunjukkan warna, melainkan
benda-benda yang berwarna tertentu.” Jika anda mengatakan melihat warna, maka
sebenarnya bahwa anda mengatakan melihat barang sesuatu dalam ruang dan waktu
tertentu yang mempunyai kualitas, yaitu suatu warna tertentu.
SIMPULAN
1. Filsafat membawa
manusia kepada pemahaman dan tindakan
2. Masalah epistimologi
bersangkutkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.
3. Ontologi merupakan
salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno.
4. Aksiologi:
pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan.
5. Globalisasi: suatu
perubahan social dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara manusia
dengan factor-faktor yang terjadi akibat perkembangnan teknologi modern.
SUMBER
Kattosoff,
Lovis O. Pengantar Filsafat,
Penerjemah: Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya), 2004, Cet. IX
Kencana,
Inu, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT
Refika Aditama), 2004, Cet. I
Rossidy,
Imam, Filsafat Sains dalam Al-Quran,
(Malang: UIN Malang Press), 2007
Suryasumantri,
Jujun. S, Filsafat Ilmu: sebuah pengantar
populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 2003
Verhaak,
C, Filsafat Ilmu Pengetahuan: telaah atas
cara kerja ilmu-ilmu, (Jakarta: Gramedia), 1991
DISUSUN
OLEH:
M. Hadhiq Maftuhin, Nanik Zubaidah, Sarwono.
PBA Madin INSURI
Ponorogo
[1]
C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan: telaah atas cara kerja ilmu-ilmu,
(Jakarta: Gramedia), 1991, 137
[2] Lovis O. Kattosoff, Pengantar Filsafat, Penerjemah: Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya), 2004, Cet. IX, 74
[3]
H. Imam Rossidy, Filsafat Sains dalam Al-Quran, (Malang:
UIN Malang Press), 2007
[4]
Inu Kencana, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama), 2004, Cet. I 10
[5]
Op. Cit, Lovis O. Kattosoff,
132-142
[6] Ibid, Inu Kencana, 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar